Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

HUKUM MENDEKORASI MASJID DAN MENULIS "AYAT AL-QURAN" PADA DINDING-NYA

 HUKUM MENDEKORASI MASJID DAN MENULIS "AYAT AL-QURAN" PADA DINDING-NYA

Oleh Abu Haitsam Fakhri

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

--------

====

DAFTAR ISI :

  • HUKUM MENDEKORASI & MENGHIAS DINDING MASJID
  • RINCIAN PERBEDAAN PENDAPAT BESERTA DALIL-NYA:
  • PENDAPAT PERTAMA: TIDAK MEMBOLEHKAN MENDEKOR DAN MENGHIAS MASJID:
  • DALIL PENDAPAT PERTAMA : YAITU PENDAPAT YANG TIDAK MEMBOLEHKAN.
  • PENDAPAT KEDUA: YANG MEMBOLEHKAN MENDEKORASI DAN MEMPERINDAH MASJID
  • DALIL-DALIL PENDAPAT KEDUA: YAITU PENDAPAT YANG MEMBOLEHKAN
  • PERKEMBANGAN BUDAYA, TRADISI DAN PERADABAN JUGA BERPENGARUH
  • TIDAK SEMUA TANDA KIAMAT ITU BERARTI HARAM & TERCELA
  • CONTOH HADITS-HADITS TANDA KIAMAT YANG TIDAK TERCELA 
  • PENGKLAIMAN AL-HAFIDZ IBNU HAJAR DAN JAWABANNYA:
  • DEKORASI KA’BAH DAN HIASANNYA:
  • TATA LETAK TULISAN KALIGRAFI AYAT-AYAT AL-QURAN DI MASJID
  • MENURUT MADZHAB HANAFI:
  • MENURUT MADZHAB MALIKI:
  • MENURUT MADZHAB SYAFI’I:
  • MENURUT MADZHAB HANBALI:
  • PENUTUP DAN KESIMPULAN.

*****

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ.

أَمَّا بَعْدُ:

===*****===

HUKUM MENDEKORASI & MENGHIAS DINDING MASJID

Hukum mendekorasi dan menghias dinding masjid, para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Yaitu secara ringkasnya sebagai berikut :

Pendapat pertama: tidak membolehkan.

Pendapat kedua : membolehkan.

Dalam hal ini Allah SWT berfirman:

﴿فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ﴾

“Di masjid-masjid, Allah memerintahkan agar (masjid-masjid itu) di tinggikan dan disebut nama-Nya di dalamnya (QS. An-Nuur: 36)

Imam al-Qurtubi mengatakan dalam “Tafsirnya” (21/266-267, Cet. Dar al-Kutub al-Mashriyah):

(أَذِنَ) مَعْنَاهُ أَمَرَ وَقَضَى، وَحَقِيقَةُ الْإِذْنِ: الْعِلْمُ وَالتَّمْكِينُ دُونَ حَظْرٍ؛ فَإِنِ اقْتَرَنَ بِذَلِكَ أَمْرٌ وَإِنْفَاذٌ كَانَ أَقْوَى. وَ(تُرْفَعَ) قِيلَ: مَعْنَاهُ تُبْنَى وَتُعْلَى؛ قَالَهُ مُجَاهِدٌ وَعِكْرِمَةُ. وَمِنْهُ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ﴾ [الْبَقَرَةُ: 127].

وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ بَنَى مَسْجِدًا مِنْ مَالِهِ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ»، وَفِي هَذَا الْمَعْنَى أَحَادِيثُ كَثِيرَةٌ تَحُضُّ عَلَى بُنْيَانِ الْمَسَاجِدِ..

ثُمَّ قَالَ: إِذَا قُلْنَا: إِنَّ الْمُرَادَ: بُنْيَانُهَا، فَهَلْ تُزَيَّنُ وَتُنْقَشُ؟ اخْتُلِفَ فِي ذَلِكَ؛ فَكَرِهَهُ قَوْمٌ وَأَبَاحَهُ آخَرُونَ.. احْتَجَّ مَنْ أَبَاحَ ذَلِكَ بِأَنَّ فِيهِ تَعْظِيمَ الْمَسَاجِدِ، وَاللَّهُ تَعَالَى أَمَرَ بِتَعْظِيمِهَا فِي قَوْلِهِ: ﴿فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ﴾ يَعْنِي: تُعَظَّمُ.

“(Adzina / أَذِنَ) berarti perintah dan keputusan, dan hakikat idzin adalah pengetahuan dan pelaksanaan tanpa larangan. Jika disertai dengan perintah dan penelaksaan maka lebih kuat.

Dan kata (diangkat / تُرْفَعَ) dikatakan: maknanya dibangun dan ditinggikan, ini Mujahid dan Ikrimah yang mengatakannya. Dan semakna dengan itu adalah firman Allah Ta’aala:

﴿وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ ﴾

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan pondasi-pondasi Baitullah bersama Ismail ”(QS. Al-Baqarah: 127).

Dan Sabda Nabi  :

«مَنْ بَنَى مَسْجِدًا مِنْ مَالِهِ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ»

"Barangsiapa membangun masjid dari hartanya, maka Allah akan membangunkan baginya istana di surga."

(HR. Ibnu Majah no. 729, Turmudzi no. 1635, Nasaai no. 688 dan Ahmad no, 19440. Di Shahihkan Syu’aib al-Arna’uth dlm Takhriij al-Musnad no. 19440 Pen.)

Dalam pengertian ini, banyak hadits yang menganjurkan pembangunan mesjid....”.

Kemudian beliau berkata: 

“Jika kita katakan: Yang dimaksud adalah: pembangunannya, apakah boleh dihias dan diukir? Maka terjadi perbedaan pendapat tentang itu ;

Ada kaum yang memakruhkannya dan ada yang lain yang membolehkannya.

Mereka yang membolehkannya ber argumentasi bahwa dalam hal tersebut terdapat makna memuliakan masjid, dan Allah SWT memerintahkan untuk mengagungkan masjid-masjid dalam firman-Nya:

﴿فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ ﴾

“Di masjid-masjid, Allah memerintahkan agar (masjid-masjid itu) di tinggikan” (QS. An-Nuur: 36), Yakni: mengagungkannya”. (Kutipan Selesai)

*****

RINCIAN PERBEDAAN PENDAPAT BESERTA DALIL-NYA:

====

PENDAPAT PERTAMA:
TIDAK MEMBOLEHKAN MENDEKOR DAN MENGHIAS MASJID:

Mereka mengatakan: Tidak diperbolehkan mendekor dan menghias masjid, terutama jika biaya dekorasi dan hiasan tersebut diambil dari dana wakaf. ATAU jika dekorasi dan hiasan tersebut dapat melalaikan dan mengganggu kekhusyu’an orang shalat. ATAU jika mengeluarkan dana besar hanya untuk (membuat) hal seperti itu.

Imam al-Sarkhasi al-Hanafi mengatakan dalam “الْمَبْسُوطُ” (30/245-246, cet. Dar al-Fikr):

[وَأَصْحَابُ الظَّوَاهِرِ يَكْرَهُونَ ذَلِكَ وَيُؤَنِّبُونَ مَنْ فَعَلَهُ، قَالُوا: لِأَنَّ فِيهِ مُخَالَفَةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فِيمَا أَخْبَرَ مِنَ الطَّرِيقَةِ؛ فَإِنَّهُ لَمَّا قِيلَ لَهُ: أَلَا نَهْدُّ مَسْجِدَكَ ثُمَّ نَبْنِيهِ؟ فَقَالَ: «لَا، عَرْشٌ كَعَرْشِ مُوسَى» أَوْ قَالَ: «عَرْشٌ كَعَرْشِ مُوسَى»، وَكَانَ سَقْفُ مَسْجِدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ مِنْ جَرِيدٍ فَكَانَ يَنْكَشِفُ إِذَا مُطِرُوا حَتَّى كَانُوا يَسْجُدُونَ فِي الْمَاءِ وَالطِّينِ، وَعَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ مَرَّ بِمَسْجِدٍ مُزَيَّنٍ مُزَخْرَفٍ فَجَعَلَ يَقُولُ: "لِمَنْ هَذِهِ الْبِيَعُ؟" وَإِنَّمَا قَالَ ذَلِكَ لِكَرَاهِيَتِهِ هَذَا الصَّنْعَ فِي الْمَسَاجِدِ، وَلَمَّا بَعَثَ الْوَلِيدُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ أَرْبَعِينَ أَلْفَ دِينَارٍ لِيُزَيِّنَ بِهَا مَسْجِدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَمَرَّ بِهَا عَلَى عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقَالَ: "الْمَسَاكِينُ أَحْوَجُ إِلَى هَذَا الْمَالِ مِنَ الْأَسَاطِينِ".] اهـ.

Para ulama madzhab adz-Dzohiri mereka memakruhkannya dan menegur mereka yang melakukannya.

Mereka berkata: Itu karena bertentangan dengan Rasulullah , dalam apa yang beliau kabarkan dari Thariqat ; karena ketika dikatakan kepadanya:

أَلَا نَهُدُّ مَسْجِدَكَ ثُمَّ نَبْنِيهِ؟ فَقَالَ: «لَا، عَرْشٌ كَعَرْشِ مُوسَى» أَوْ قَالَ: «عَرْشٌ كَعَرْشِ مُوسَى»

Haruskah kami merobohkan masjidmu dan kemudian membangunnya? Dia berkata: "Tidak, arasy seperti arasy Musa." Atau dia berkata: "Arasy seperti Arasy Musa."

Atap mesjid Rasulullah  dan keluarganya terbuat dari daun-daunan pelepah kurma, yang jika terkena hujan maka mereka bersujud di air dan lumpur.

Dan dari Ali radhiyallahu 'anhu, bahwa dia melewati sebuah masjid yang dihias dan didekorasi, maka itu membuat dia berkata:

"لِمَنْ هَذِهِ البِيَع؟"

"Kepunyaan siapakah gereja-gereja ini?"

Tidak sekali-kali dia mengatakan itu kecuali karena dia membenci pembuatan seperti ini di masjid.

Dan ketika Al-Waleed bin Abdul-Malik mengirim empat puluh ribu dinar untuk mendekorasi masjid Rasulullah, SAW, dia menjumpai Umar bin Abdul Aziz ra, maka beliau berkata:

"الْمَسَاكِينُ أَحْوَجُ إِلَى هَذَا الْمَالِ مِنَ الْأَسَاطِينِ".

Orang-orang miskin lebih membutuhkan uang ini daripada pilar-pilar (Masjid) ini“.

------

DALIL PENDAPAT PERTAMA 
YAITU PENDAPAT YANG TIDAK MEMBOLEHKAN:

Yaitu sebagai berikut :

DALIL KE 1:

Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu, sesungguhnya Nabi  bersabda:

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَبَاهَى النَّاسُ فِى الْمَسَاجِدِ  

 “Tidak (akan) terjadi hari kiamat, sampai orang-orang saling membanggakan masjidnya.”
(HR. Abu Daud, no. 449, Nasa’i, no. 689, Ibn Majah, no. 739 di shahihkan oleh Al-Al-bany dalam Shahih Abu Daud)

DALIL KE 2:

Diriwayatkan oleh Bukhari, 1/171 secara Mu’allaq (tanpa sanad) dengan Shigoh al-Jazm / بِصِيغَةِ الْجَزْمِ setelah no. Hadits 446 dari Anas bin Malik.

Yakni: Imam Bukhori berkata: Anas bin Malik radhiallahu anhu berkata:

" يَتَبَاهَوْنَ بِهَا ، ثُمَّ لاَ يَعْمُرُونَهَا إِلاَّ قَلِيلاً. فالتَّبَاهِي بِهَا العِنَايَةُ بِزَخْرَفَتِهَا ".

“Mereka saling berbangga-banggaan dengannya, kemudian tidak ada yang memakmurkan melainkan sedikit. Makna saling berbangga-banggaan dengannya itu adalah perhatian dengan dekorasinya “.

(Atsar ini disambungkan sampai kepada Nabi  oleh Abu Ya’laa dlm Musnadnya 5/199 no. 2817 dan Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al-Mushannaf, 1/309. Di dalamnya ada perawi yang tidak dikenal. Lihat “تَغْلِيقُ التَّعْلِيقِ” karya Ibnu Hajar 2/236).

Badruddin Al-Aini rahimahullah berkomentar: 

قَوْلُهُ "يَتَبَاهَوْنَ" بِفَتْحِ الْهَاءِ مِنَ الْمُبَاهَاةِ، وَهِيَ الْمُفَاخَرَةُ، وَالْمَعْنَى: أَنَّهُمْ يُزَخْرِفُونَ الْمَسَاجِدَ، وَيُزَيِّنُونَهَا، ثُمَّ يَقْعُدُونَ فِيهَا، وَيَتَمَارَوْنَ، وَيَتَبَاهَوْنَ، وَلَا يَشْتَغِلُونَ بِالذِّكْرِ، وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ، وَالصَّلَاةِ.

قَوْلُهُ "بِهَا"، أَي: بِالْمَسَاجِدِ، وَالسِّيَاقُ يَدُلُّ عَلَيْهِ..

”Ungkapan 'يَتَبَاهَوْنَ' dengan baris fathah huruf ha’ berasal dari kata ‘الْمُبَاهَاةِ’ yaitu ‘الْمُفَاخَرَةُ’, artinya adalah mereka memperelok dan menghiasi mesjid kemudian mereka duduk, lewat dan saling membanggakan dan tidak disibukkan dengan zikir, bacaan AL-Qur’an dan shalat. Ungkapan ‘بِهَا’ yakni ‘بالمساجد / dengan masjid-masjid’, karena konteknya menunjukkan seperti itu." [Baca : عمدة القاري (4/205)].

DALIL KE 3:

Diriwayatkan oleh Bukhari, 1/171 secara Mu’allaq (tanpa sanad) dengan Shigoh al-Jazm / بصيغة الجزم setelah no. Hadits 446 dari Ibnu Abbas RA. Yakni: Imam Bukhori berkata: Ibnu ‘Abbaas radhiyallahu ‘anhu berkata:

" لَتُزَخْرِفُنَّهَا ، كَمَا زَخْرَفَتِ الْيَهُودُ ، وَالنَّصَارَى ".

‘Sungguh (mereka) akan menghiasanya sebagaimana orang Yahudi dan Nashrani menghiasinya.’

Atsar ini disambungkan sampai ke Nabi  oleh Ibn Abi Syaibah dalam kitab ‘Al-Mushonnaf, 1/309 dan juga ulama lain. Lihat “تغليق التعليق” karya Ibnu Hajar 2/238)

Dishahihkan oleh Al-Albany dalam kitab ‘Tahqiq Islah Al-Masajid Minal Bida’i Wal ‘Awaid, karangan Jamaluddin Al-Qasyimi, 94, dan dalam Shahih Abu Daud yang lengkap, 2/347.

Al-Baghawi rahimahullah berkata:

وَقَوْلُ ابْنِ عَبَّاسٍ: لَتُزَخْرِفُنَّهَا كَمَا زَخْرَفَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَىٰ، مَعْنَاهُ: أَنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ إِنَّمَا زَخْرَفُوا الْمَسَاجِدَ عِنْدَمَا حَرَّفُوا وَبَدَّلُوا أَمْرَ دِينِهِمْ، وَأَنْتُمْ تَصِيرُونَ إِلَىٰ مِثْلِ حَالِهِمْ، وَسَيَصِيرُ أَمْرُكُمْ إِلَىٰ الْمُرَاءَاةِ بِالْمَسَاجِدِ، وَالْمُبَاهَاةِ بِتَشْيِيدِهَا، وَتَزْيِينِهَا.

“Ungkapan Ibnu Abbas ‘Sungguh (mereka) akan menghiasnya sebagaimana orang Yahudi dan Nashrani menghiasnya.’ Maknanya bahwa orang-orang Yahudi dan Nashrani mulai meghiasi masjid setelah mereka merubah ajaran agamanya, dan kalian kondisinya akan menjadi seperti mereka. Kalain akan saling pamer masjid, saling membanggakan dengan keelokan dan hiasannya." (Syarh As-Sunnah, 2/350)

DALIL KE 4:

Dari Anas bin Malik, bahwa Rosulullah  bersabda:

«يَأْتِي عَلَى أُمَّتِي زَمَانٌ يَتَبَاهَوْنَ بِالْمَسَاجِدِ وَلاَ يَعْمُرُونَهَا إِلَّا قَلِيلًا»

“Sungguh akan datang pada umatku suatu masa di mana mereka saling bermegah-megahan dengan masjid-masjid tapi tidak ada yang memakmurkannya kecuali sedikit.

(HR. Abu Daud no. 396, Ibnu Majah no. 744, Abu Ya’la no. 2735, Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya no. 1257 & 1258 dan Ibnu Hibbaan dlm Shahihnya no. 6884. Lihat Fathul Baari 1/642 dlm Kitab: الصلاة, Bab: بنيان المسجد).

DALIL KE 5:

Hadist Ibnu Mas’ud RA, bahwa Nabi  bersabda:

«يَا ابْنَ مَسْعُودٍ! إِنَّ مِنْ أَعْلَامِ السَّاعَةِ وَأَشْرَاطِهَا أَنْ تُزَخْرَفَ الْمَحَارِيبُ وَأَنْ تُخْرَبَ الْقُلُوبُ.... يَا ابْنَ مَسْعُودٍ، إِنَّ مِنْ أَعْلَامِ السَّاعَةِ وَأَشْرَاطِهَا أَنْ تُكَثَّفَ الْمَسَاجِدُ ، وَأَنْ تَعْلُوَ الْمَنَابِرُ»

Wahai Ibnu Mas’ud! Sungguh di antara alamat Kiamat itu dan tanda-tandanya adalah: mihrab-mihrab di dekorasi dan hati-hati manusia di rusak.......

Wahai Ibnu Mas’ud! Sungguh di antara alamat Kiamat itu dan tanda-tandanya adalah: Masjid-masjid dihiasi dan mimbar-mimbar di tinggikan.

(HR. Al-Tabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabiir (10/228) dan dalam Al-Mu’jam Al-Awsath (4861), dan Al-Shajari dalam Al-Amaalii (2803)

Dan hadits ini PALSU, di dalam sanadnya terdpat Saif bin Miskin, dia itu perawi hadits-hadits palsu.

(Baca: “المجروحين” no. 446 karya Ibnu Hibbaan, “مختصر مستدرك الحاكم” no. 5465 karya adz-Dzahabi, “البداية والنهاية” (19/274) karya Ibnu Katsir, “المغني عن حمل الأسفار في الأسفار” hal. 656 karya al-‘Irooqi dan “الأجوبة المرضية “ (2/524) karya as-Sakhoowii.   

DALIL KE 6:

Umar Ibnu Al-Khattab radhiyallahu 'anhu melarang mendekorasi masjid karena hal itu dapat mengalihkan perhatian orang dari shalatnya. Dia mengatakan ketika dia memerintahkan pembaruan Masjid Nabawi:

((أكِنَّ الناسَ من المطر, وإياك أن تحمر أو تصفر فتفتن الناس))

“Lindungilah orang-orang dari hujan, dan jangan mewaranainya dengan warna merah atau kuning, sehingga membuat orang-orang terfitnah (tidak fokus dalam sholatnya) “.

(Diriwayatkan oleh Bukhari, 1/171 secara Mu’allaq (tanpa sanad) dengan Shigoh al-Jazm / بِصِيغَةِ الْجَزْمِ setelah no. Hadits 446).

Dalam Al-Mausu’ah AL-Fiqhiyyah, 11/275 dinyatakan:

يَحْرُمُ تَزْيِينُ الْمَسَاجِدِ بِنَقْشِهَا، وَتَزْوِيقِهَا بِمَالِ الْوَقْفِ، عِندَ الْحَنَفِيَّةِ، وَالْحَنَابِلَةِ، وَصَرَّحَ الْحَنَابِلَةُ بِوُجُوبِ ضَمَانِ الْوَقْفِ الَّذِي صُرِفَ فِيهِ؛ لِأَنَّهُ لَا مَصْلَحَةَ فِيهِ، وَظَاهِرُ كَلَامِ الشَّافِعِيَّةِ: مَنْعُ صَرْفِ مَالِ الْوَقْفِ فِي ذَلِكَ، وَلَوْ وَقَفَ الْوَاقِفُ ذَلِكَ عَلَيْهِمَا - النَّقْشِ، وَالتَّزْوِيقِ -: لَمْ يَصِحْ فِي الْقَوْلِ الأَصَحِّ عِنْدَهُمْ، أَمَّا إِذَا كَانَ النَّقْشُ وَالتَّزْوِيقُ مِنْ مَالِ النَّاقِشِ: فَيُكْرَهُ - اتِّفَاقًا - فِي الْجُمْلَةِ إِذَا كَانَ يُلْهِى الْمُصَلِّيَ، كَمَا إِذَا كَانَ فِي الْمِحْرَابِ، وَجِدَارِ الْقِبْلَةِ.انتهى

“Diharamkan menghias dan memahat masjid atau mendekorasinya dengan dana wakaf menurut (madzhab) Hanafiyah dan hanbaliyah.

Ulama kalangan Hanbali dengan tegas mewajibkan mengganti dana wakaf yang dipakai untuk itu, karena hal itu tidak ada kemaslahatan di dalamnya.

Sedangkan dari kalangan ulama Syafi’iyyah, yang tampak dari perkataan mereka adalah melarang menggunakan dana wakaf untuk itu.

Jika ada orang yang mewakafkan untuk keduanya –memahat dan mendekorasi masjid- (maka wakafnya) tidak sah menurut pendapat terkuat di kalangan mereka.

Adapun kalau memahat dan mendekorasi dari dana orang yang memahat, maka itu dimakruhkan - dengan sepakat - secara mutlak jika menyebabkan orang shalat menjadi lalai, misalnya jika terletak di mihrab dan di dinding kiblat.”

Para Ulama dalam Al-Lajnah Ad-Daimah ditanya: “tentang proyek untuk membangun hiasan masjid “?.

Mereka menjawab:

هَـٰذَا الْعَمَلُ غَيْرُ شَرْعِيٍّ؛ لِلْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ فِي النَّهْيِ عَنْ زَخْرَفَةِ الْمَسَاجِدِ، وَلِأَنَّ فِي ذَلِكَ إِشْغَالًا لِلْمُصَلِّينَ عَنْ صَلَاتِهِمْ بِالنَّظَرِ، وَالتَّفَكُّرِ فِي تِلْكَ الزُّخَارِفِ، وَالنُّقُوشِ..

“Pekerjaan ini tidak disyariatkan, berdasarkan hadits shahih yang melarang mendekorasi masjid. Dan karena hal itu menyibukkan hati orang shalat dalam shalatnya dengan memandang dan termenung dengan hiasan-hiasan dan ukiran-ukiran itu.

[ Mereka adalah: Syekh Abdul Aziz Ali Syekh, Syekh Abdullah Gadyan, Syekh Sholeh AL-Fauzan Syekh Bakr Abu Zaid ]. (Lihat : Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, jilid kedua, 5/191)

Dan mereka juga berkata :

لَا يُجْزَءُ زُخْرَفَةُ الْمَسَاجِدِ، وَلَا كِتَابَةُ الْآيَاتِ الْقُرْآنِيَّةِ عَلَى جُدْرَانِهَا؛ لِمَا فِي ذَلِكَ مِنْ تَعْرِيضِ الْقُرْآنِ لِلِامْتِهَانِ، وَلِمَا فِيهِ مِنْ زُخْرَفَةِ الْمَسَاجِدِ الْمَنْهِيِّ عَنْهَا، وَإِشْغَالِ الْمُصَلِّينَ عَنْ صَلَاتِهِمْ بِالنَّظَرِ فِي تِلْكَ الْكِتَابَاتِ وَالنُّقُوشِ..

Masalah tulisan ayat dan hiasan masjid telah dikumpulkan dalam satu fatwa dalam Fatawa Al-Lajnah d-Daimah, dengan mengatakan: “Tidak diperkenankan menghiasi masjid, dan tidak juga menulis ayat Qur’an di dindingnya. Karena hal itu mengarah kepada penistaan Al-Qur’an, juga (mengarah) kepada hiasan masjid yang terlarang, serta mengganggu orang shalat dari shalatnya dengan melihat tulisan dan pahatan itu."

[Mereka adalah: Syekh Abdul Aziz bin Baz, Syekh Abdul Aziz Ali Syekh, Syekh Abdullah Gudyan, Syekh Sholeh Al-Fauzan, Syekh Bakr Abu Zaid ].

(Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, jilid kedua, 5/190)

=====

PENDAPAT KEDUA:
YANG MEMBOLEHKAN MENDEKORASI DAN MEMPERINDAH MASJID

Imam al-Sarkhasi al-Hanafi mengatakan dalam “المبسوط” (30/245-246, cet. Dar al-Fikr) bahwa dia berkata:

وَلَا بَأْسَ أَنْ يُنْقَشَ الْمَسْجِدُ بِالْجَصِّ وَالسَّاجِ وَمَاءِ الذَّهَبِ، قَالَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: وَكَانَ شَيْخُنَا الْإِمَامُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ: تَحْتَ اللَّفْظِ إِشَارَةٌ إِلَى أَنَّهُ لَا يُثَابُ عَلَى ذَلِكَ؛ فَإِنَّهُ قَالَ: لَا بَأْسَ، وَهَـٰذَا اللَّفْظُ لِرَفْعِ الْحَرَجِ لَا لِإِيجَابِ الثَّوَابِ، مَعْنَاهُ: يَكْفِيهِ أَنْ يَنْجُوَ مِنْ هَـٰذَا رَأْسًا بِرَأْسٍ، وَهُوَ الْمَذْهَبُ عِندَ الْفُقَهَاءِ رَحِمَهُمُ اللَّهُ......

الدَّلِيلُ عَلَى أَنَّهُ لَا بَأْسَ بِذَلِكَ: مَا رُوِيَ أَنَّ أَوَّلَ مَنْ بَنَى مَسْجِدَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ دَاوُدُ عَلَيْهِ السَّلَامُ، ثُمَّ أَتَمَّهُ سُلَيْمَانُ عَلَيْهِ السَّلَامُ بَعْدَهُ، وَزَيَّنَهُ حَتَّى نَصَبَ عَلَى رَأْسِ الْقُبَّةِ الْكُبْرِيتَ الْأَحْمَرَ وَكَانَ أَعَزَّ وَأَنْفَسَ شَيْءٍ وُجِدَ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ؛ فَكَانَ يُضِيءُ مِنْ مِيلٍ، وَكَانَتِ الْغَزَّالاتُ يُبْصِرْنَ ضَوْءَهُ بِاللَّيَالِي مِنْ مَسَافَةِ مِيلٍ، وَالْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَوَّلُ مَنْ زَيَّنَ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ، وَعُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ زَيَّنَ مَسْجِدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَزَادَ فِيهِ، وَكَذَٰلِكَ عُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بَعْدَهُ بَنَى الْمَسْجِدَ بِمَالِهِ وَزَادَ فِيهِ وَبَالَغَ فِي تَزْيِينِهِ، فَدَلَّ أَنَّ ذَلِكَ لَا بَأْسَ بِهِ، وَأَنَّ تَأْوِيلَ مَا رُوِيَ بِخِلَافِ هَـٰذَا مَا أَشَارَ إِلَيْهِ فِي آخِرِ الْحَدِيثِ: «وَقُلُوبُهُمْ خَاوِيَةٌ مِنَ الْإِيمَانِ» أَيْ: يُزَيِّنُونَ الْمَسَاجِدَ وَلَا يُدَاوِمُونَ عَلَى إِقَامَةِ الصَّلَاةِ فِيهَا بِالْجَمَاعَةِ، وَالْمُرَادُ: التَّزْيِينُ بِمَا لَيْسَ بِطَيِّبٍ مِنَ الْأَمْوَالِ، أَوْ عَلَى قَصْدِ الرِّيَاءِ وَالسُّمَعَةِ؛ فَعَلَى بَعْضِ ذَلِكَ يُحْمَلُ لِيَكُونَ جَمْعًا بَيْنَ الآثَارِ.. وَقَدْ أُمِرْنَا فِي الْمَسَاجِدِ بِالتَّعْظِيمِ، وَلَا شَكَّ أَنَّ مَعْنَى التَّعْظِيمِ يَزْدَادُ بِالتَّزْيِينِ فِي قُلُوبِ بَعْضِ النَّاسِ مِنَ الْعَوَامِّ، فَيُمْكِنُ أَنْ يُقَالَ بِهَـٰذَا الطَّرِيقِ: يُؤْجَرُ هُوَ عَلَى مَا فَعَلَهُ. اهـ.

Tidak mengapa mengukir (mendekorasi) mesjid dengan plesteran, kayu-kayu pilihan, dan cairan emas.

Beliau r.a. berkata: Syekh kami, al-Imam, pernah berkata: “Di bawah lafadz tersebut terdapat isyarat bahwa dia tidak akan mendapat pahala untuk itu”.

Dia berkata: “Tidak lah mengapa”, dan lafadz ini untuk menghilangkan rasa keberatan (yakni: boleh-boleh saja), bukan untuk mewajibkankan pahala, artinya: Cukup baginya selamat dari (dosa) perbuatan ini, kepala dengan kepala (yakni: tidak berdosa dan tidak berpahala).

Dan itu adalah MADZHAB PARA ULAMA AHLI FIQIH semoga Allah merahmati mereka.

DALIL : bahwa tidak mengapa dengan itu (menghias dan mendekorasi Masjid):

Diriwayatkan bahwa orang pertama yang membangun masjid Bait Al-Maqdis adalah Daud ‘alaihis salam, kemudian Sulaiman ‘alaihis salam menyelesaikannya setelah dia. Dia menghiasinya sampai dia memasang batu belerang merah di atas kubah, dan itu adalah hal yang paling bernilai dan paling berharga yang ditemukan saat itu. Batu itu bersinar dan nampak sinar dari jarak satu mil, dan hewan-hewan rusa pun bisa melihat cahayanya di malam hari dari jarak satu mil.

Al-Abbas bin Abdul-Muttalib radhiyallahu 'anhu adalah orang pertama yang mendekorasi Masjidil Haram setelah Rasulullah .

Dan Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu mendekorasi mesjid Rasulullah  serta memperbanyaknya.

Begitu juga dengan Utsman radhiyallahu 'anhu setelah Umar, dia membangun masjid dengan uangnya sendiri dan menambahi di dalamnya dan berlebihan dalam dekorasinya.

Ini menunjukkan bahwa tidak ada yang salah dengan itu, dan bahwa interpretasi dari apa yang diriwayatkan selain ini adalah apa yang dirujuk dari akhir hadits:

«وَقُلُوبُهُمْ خَاوِيَةٌ مِنَ الْإِيمَانِ»

"Dan hati mereka kosong dari iman."

Yaitu: mendekorasi masjid namun tidak mendawamkan mendirikan shalat berjamaah di dalamnya.

Dan Yang dimaksud adalah: memperhias dengan harta-harta yang tidak baik, atau dengan maksud untuk pamer dan reputasi; maka hadits tersebut di arahkan maksudnya pada sebagian hal itu untuk menggabungkan hadits-hadits dan atsar-atsar lainnya..

Dan kami telah diperintahkan pada masjid-masjid itu untuk mengagungkannya. Tidak diragukan lagi, makna dan nilai penghormatan semakin meningkat dengan penghiasan masjid di hati sebagian orang-orang awaam, sehingga dapat dikatakan dengan cara ini: Dia akan diberi pahala atas apa yang dia lakukan.) [SELESAI].

Prof. Dr. Ali Jum’ah Muhammad di tanya:

مَا حُكْمُ إِعْمَارِ الْمَسَاجِدِ وَتَرْمِيمِهَا وَتَزْيِينِهَا؟

Apa hukum membangun masjid-masjid, mempebaikinya dan mendekorasinya ?

JAWAB :

نَصَّ كَثِيرٌ مِنَ الفُقَهَاءِ عَلَى جَوَازِ زُخْرَفَةِ الْمَسَاجِدِ وَنَقْشِهَا، وَعَدُّوا ذَلِكَ مِنْ تَعْظِيمِهَا وَإِعْلَاءِ شَأْنِهَا؛ امْتِثَالًا لِلْأَمْرِ الشَّرْعِيِّ بِرَفْعِهَا وَعِمَارَتِهَا وَتَشْيِيدِهَا، نَحْوَ مَا جَاءَ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ﴾ [النور: 36]، وَقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ﴾ [التوبة: 18]، وَهَـٰذَا يَتَضَمَّنُ كِتَابَةَ الآيَاتِ الْقُرْآنِيَّةِ الكَرِيمَةِ عَلَى جُدْرَانِهَا، وَلَا يَخْفَى أَنَّ الاستدلالَ بِهَذِهِ النُّصُوصِ يُقَضِي اسْتِحْبَابَ ذَلِكَ وَالْحَثَّ عَلَيْهِ شَرْعًا، لَا مُجَرَّدَ إِبَاحَةِ فِعْلِهِ وَجَوَازِ الإِقْدَامِ عَلَيْهِ.

“Banyak para ulama ahli fiqih yang telah menyatakan bahwa diperbolehkan untuk mendekorasi dan mengukir masjid, bahkan mereka menganggapnya sebagai bentuk pengagungan dan mengangkat tinggi kemuliaan status nya ; dalam rangka melaksanakan perintah yang Syar’i untuk menjunjung tinggi, memakmurkan dan membangunnya, Sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah SWT dalam firman Nya:

﴿فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ﴾

“Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk ditangkat tinggi-tinggi kemuliaannya dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang“. (QS. An-Nuur: 36)

Dan Firman Allah SWT:

﴿إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللهِ مَنْ آمَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ﴾

Sesungguhnya yang memakmurkan masjid-masjid Allah itu, hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian........ (QS. At-Taubah: 18).

Ini termasuk menulis ayat-ayat Al-Qur'an yang mulia di dinding-dinding itu, dan bukan rahasia lagi bahwa mengambil dalil dari nash-nash ini berkonsekwensi akan kemustahabannya dan dianjurkan oleh hukum syar’i, bukan hanya sekedar dimubahkan untuk melakukannya dan di bukan sekedar di bolehkannya “. (SELESAI)

-----

DALIL-DALIL PENDAPAT KEDUA:
YAITU PENDAPAT YANG MEMBOLEHKAN

'Abdullah bin 'Umar mengabarkan:

أنَّ المَسْجِدَ كانَ علَى عَهْدِ رَسولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ مَبْنِيًّا باللَّبِنِ، وسَقْفُهُ الجَرِيدُ، وعُمُدُهُ خَشَبُ النَّخْلِ، فَلَمْ يَزِدْ فيه أبو بَكْرٍ شيئًا، وزَادَ فيه عُمَرُ وبَنَاهُ علَى بُنْيَانِهِ في عَهْدِ رَسولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ باللَّبِنِ والجَرِيدِ وأَعَادَ عُمُدَهُ خَشَبًا، ثُمَّ غَيَّرَهُ عُثْمَانُ فَزَادَ فيه زِيَادَةً كَثِيرَةً وبَنَى جِدَارَهُ بالحِجَارَةِ المَنْقُوشَةِ، والقَصَّةِ وجَعَلَ عُمُدَهُ مِن حِجَارَةٍ مَنْقُوشَةٍ وسَقَفَهُ بالسَّاجِ.

“Bahwa pada masa Rasulullah   Masjid dibangun dengan menggunakan tanah liat yang dikeraskan (bata). Atapnya dari pelepah daun kurma sedangkan tiangnya dari batang pohon kurma.

Pada masanya Abu Bakar, beliau tidak memberi tambahan renovasi apapun.

Kemudian pada masanya Umar bin Al Khaththab ia memberi tambahan renovasi, Umar merenovasi dengan batu bata dan pelepah daun kurma sesuai dengan bentuk yang ada di masa Rasulullah  . Tiang-tiang nya ia ganti dengan kayu.

Kemudian pada masa Utsman ia banyak melakukan perubahan dan renovasi, DINDING masjid ia bangun dari bebatuan yang DIUKIR dan batu kapur. Kemudian TIANG dari batu berukir dan atapnya dari batang-batang kayu pilihan." (HR. Bukhori no. 427, Ahmad No. 5865 dan Abu Daud no. 381)

Al-Qoodhi Waki’ (wafat 196 H, beliau gurunya Imam Syafi’i) dalam kitab “الطَّرِيْق” hal. 364 meriwayatkan:

عَنْ خَارِجَةَ بْنِ زَيْدٍ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -وَهُوَ أَحَدُ فُقَهَاءِ الْمَدِينَةِ السَّبْعَةِ- قَالَ: قُتِلَ عُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَقَدْ فَرَغَ مِنْ بُنْيَانِ الْمَسْجِدِ، وَإِنَّ نِقَاشَةَ الحِجَارَةِ لَعَلَى أَبْوَابِ الْمَسْجِدِ وَقِبَابِهِ، فَلَمْ يَزَلْ بَعْدُ عُثْمَانُ عَلَى حَالِهِ؛ لَمْ يَزِدْ فِيهِ أَحَدٌ مِنَ الْوُلاَةِ، حَتَّى كَانَ زَمَانُ الْوَلِيدِ بْنِ عَبْدِ الْمَلِكِ..

Dari Khoorijah bin Zaid رحمه الله (dia merupakan salah satu dari tujuh ahli fiqih Madinah), dia berkata:

Usman ra, terbunuh ketika selesai dari pembangunan Masjid.

Dan sesungguhnya ukiran-ukiran batunya berada di atas pintu-pintu dan kubah-kubah masjid. Dan setelah terbunuhnya Utsman kondisi nya masih tetap seperti itu, tidak ada satu pun penguasa yang menambahinya di dalamnya, sampai pada masa Al-Walid bin Abdul Malik.

(Baca: kitab “الطَّرِيْق” hal. 364, yang dicetak oleh pentahqiq Hamad Al-Jaasir atas nama kitab “Al-Manasik” karya Al-Harbi)

Dan Asal makna “النَّقْش” dalam bahasa:

تَلْوِينُ الشَّيْءِ بِلَوْنَيْنِ أَوْ أَلْوَانٍ، وَالنَّمْنَمَةُ وَالزُّخْرَفَةُ

Mewarnai sesuatu dengan dua warna atau warna, dan menghiasi (iluminasi) dan mendekorasi, Seperti dalam kamus “المحيط” karya Ulama Al-Fayrouz Abadi (مادة: نقش، نمنم).

Maka jelaslah bahwa Utsman radhiyallahu 'anhu adalah orang pertama yang mendekorasi Masjid Nabawi.

Dan di dalamnya ada bantahan terhadap klaim bahwa ia menganggap bagus jika tidak didekorasi, sebagaimana disebutkan Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam (Fathul-Bari, 1/540, cet. Dar Al-Ma’rifah) dan lain-lain.

Makna “النَّقْش” bisa di ithlaq kan pula pada makna “KALIGRAFI”. 

Sebagaimana hadits Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, dalam dua kitab Sahih (Bukhori no. 5417, 5866 dan Muslim no. 2095 dari hadits Ibnu Umar radhiyallahu ;anhuma :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اتَّخَذَ خَاتَمًا مِنْ ذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ وَجَعَلَ فَصَّهُ مِمَّا يَلِي كَفَّهُ وَنَقَشَ فِيهِ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ

Bahwa Rasulullah  mengambil sebuah cincin perak, dan tertulis padanya: "Muhammad adalah utusan Allah."

Dan Beliau  bersabda:

إِنِّي اتَّخَذْتُ خَاتَمًا مِن ورِقٍ، ونَقَشْتُ فيه مُحَمَّدٌ رَسولُ اللَّهِ، فلا يَنْقُشَنَّ أحَدٌ علَى نَقْشِهِ.

"Sesungguhnya saya telah membuat cincin dari perak dan telah kuukir dengan tulisan 'Muhammad Rasulullah' maka janganlah kalian mengukir dengan ukiran seperti itu." (HR. Bukhori no. 5428, 5874 dan Muslim no. 2092 dari hadits Anas bin Malik)

Maka apa yang dilakukan oleh Utsman radhiyallahu ‘anhu membangun dinding dan tiang-tiang masjid dengan batu-batu berukir dan para sahabat juga hadir menyaksikannya tanpa ada keberatan dari mereka, sebagai bukti dan dalil akan kebolehan kaligrafi ayat-ayat Al-Qur'an di masjid.

Apa yang beliau radhiyallahu ‘anhu lakukan dianggap sebagai bagian dari pema’muran masjid, yang diperintahkan oleh Syariah ; sebagaimana beliau, semoga Allah meridhoinya, berdalil atas kebenaran apa yang dia lakukan dalam hal renovasi, konstruksi dan bangunan dengan bebatuan yang berukir dengan dalil-dalil yang menunjukkan di syariatkannya membangun masjid-masjid dan memakmurkannya.

Imam Bukhori dan Mulim meriwayatkan dari Ubaidullah al-Khaulani, bahwa dia menyebutkan

أَنَّهُ سَمِعَ عُبَيْدَ اللَّهِ الْخَوْلَانِيَّ يَذْكُرُ أَنَّهُ سَمِعَ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ عِنْدَ قَوْلِ النَّاسِ فِيهِ حِينَ بَنَى مَسْجِدَ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكُمْ قَدْ أَكْثَرْتُمْ وَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «مَنْ بَنَى مَسْجِدًا للهِ تَعَالَى، يَبْتَغِي بِهِ وَجْهَ اللَّهِ، بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ ».

“Bahwa dia mendengar Utsman bin Affan berkata kepada orang-orang yang ramai membicarakan tentang perluasan masjid ketika beliau radhiyallahu ‘anhu membangun masjid Rasulullah :

"Sekarang kalian telah semakin banyak. Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah , bersabda:

'Siapa yang membangun masjid dengan maksud mencari wajah Allah, niscaya Allah membuatkan rumah di surga untuknya'. (HR. Bukhori no. 450 dan Muslim no. 533).

Dan Imam Al-Zarkashi berkata dalam kitab “
إِعْلَامُ السَّاجِدِ بِأَحْكَامِ الْمَسَاجِدِ” hal. 337 cet. Kementerian Wakaf Mesir:

 "وَجَوَّزَهُ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ -يَعْنِي: كِتَابَةَ آيَةٍ مِنَ الْقُرْآنِ أَوْ شَيْءٍ مِنْهُ فِي قِبْلَةِ الْمَسْجِدِ-، وَقَالَ: لَا بَأْسَ بِهِ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ﴾ [التوبة: 18]، وَلِمَا رُوِيَ مِنْ فِعْلِ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ذَلِكَ بِمَسْجِدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ، وَلَمْ يُنْكَرْ ذَلِكَ". اهـ.

“Beberapa ulama membolehkannya - yakni: menulis sebuah ayat dari Al-Qur'an atau sesuatu darinya di kiblat masjid - dan dia berkata: Tidak ada masalah dengan itu ; berdasarkan firman Allah Ta’ala:

﴿إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ﴾

Sesungguhnya yang memakmurkan masjid-masjid Allah itu, hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian........ (QS. At-Taubah: 18).

Dan berdasarkan apa yang dilakukan Utsman radhiyallahu 'anhu di masjid Rasulullah  dan keluarganya, dan dia tidak mengingkarinya."

Dan perkataanya dalam riwayat diatas: “Kepada orang-orang yang membicarakan tentang perluasan masjid”. Dan ucapan Utsman kepada mereka: “Kalian telah semakin banyak ” bukanlah penyangkalan dari sebagian mereka itu karena ditujukan pada pembangunannya dengan batu-batu yang berukir. Sebagaimana dikemukakan oleh Imam al-Baghawi dalam (Syarah as-Sunnah, 2/349, cet. al-Maktab al-Islami), akan tetap seperti yang beliau katakan:

" لِمَا فِيهِ مِنْ تَغْيِيرِ بِنَاءِ الْمَسْجِدِ عَنْ هَيْئَةِ بُنْيَانِهِ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ"

Karena di dlm pembangunannya terdapat perubahan bentuk / penampilan tidak seperti bentuk bangunan masjid pada masa Nabi  “.

Seperti yang dikatakan pula oleh Al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hanbali dalam (Fathul Bari, 2/501, cet. Ibnu al-Jawzi). 

Yakni, sesungguhnya mereka ingin melestarikan bentuk dan penampilan peninggalan Nabi , dalam rangka untuk bertabarruk dengan bentuk tsb. Sebagaimana ditunjukkan oleh riwayat lain dalam Sahih Muslim dari Mahmud bin Labid radhiyallahu ‘anhu dengan dia, dalam perkataannya:

فَكَرِهَ النَّاسُ ذَلِكَ وَأَحَبُّوا أَنْ يَدَعَهُ عَلَى هَيْئَتِهِ

“Maka orang-orang tidak menyukainya, mereka ingin masjid tetap seperti kondisinya”. (HR. Muslim no. 533 & 5298).

Dan kemudian – masih pada masa generasi pertama juga - Umar bin Abdul Aziz, rahimahullah (dan dia adalah salah satu dari para tabi’in terkemuka, dan dijuluki Khalifah Kelima dari Khulafaa ar-Rosyidiin) memperluas Masjid Nabawi asy-Syariif setelah diperintahkan oleh Al-Waliid bin Abdul Malik; maka dia menulis dengan tinta emas Surat Al-Fatihah dan surat-surat terpendek di kiblat Masjid Nabawi dari surat ﴿وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا﴾ sampai akhir al-Qur’an.

Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Zabaalah dari lebih dari satu ahli ilmu – seperti yang dikutip oleh Abu Ali bin Rustah darinya dalam kitab “الأعلاق النفيسة” hal.: 70, Cet. Leiden, Belanda tahun1891 M).

Diriwayatkan juga oleh Al-Qadli Wakii' dalam kitab “الطَّرِيْق” hal. 385 dari Husain bin Mush’ab, dan dia menyebutkan:

“Bahwa dirinya menugaskan seorang kaligrafer bernama: Sa’ad Hathobah, yang mana dia itu Maula (bekas budak) Huwaithib bin Abdul ‘Uzza “.

Al-Hafidz Ibnu Al-Najjar meriwayatkan semua yang disebutkan diatas dari para penulis kitab siirah (biografi) dalam kitab “الدرة الثمينة في أخبار المدينة” hlm. 112 - 114 (Cet. Dar Al-Arqam bin Abi Al-Arqam)

Kaligrafi ini disebutkan juga oleh Muhammad bin Ishaq, penulis kitab “السيرة” – sebagaimana dikutip oleh Ibnu An-Nadiim dalam “الفِهْرِسْت” hal. 9 (Cet. Dar Al-Ma’rifah)-

Namun, dia tidak menyebutkan Surat Al-Fatihah, dan dia menamai kaligrafer tsb: Khoolid bin Abi Al-Hayyaj, dan dia adalah orang pertama yang menulis mushaf-mushaf Al-Qur'an di generasi pertama, dan dia digambarkan sebagai orang yang tulisannya bagus.

Kemudian Ibnu Ishaq berkata:

"وَيُقَالُ إِنَّ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ قَالَ: أُرِيدُ أَنْ تَكْتُبَ لِي مُصْحَفًا عَلَى هَـٰذَا الْمِثَالِ (أَي: عَلَى مِثَالِ مَا كَتَبَهُ فِي جِدَارِ قِبْلَةِ مَسْجِدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ)، فَكَتَبَ لَهُ مُصْحَفًا تَنَوَّقَ فِيهِ -أَي: جَوَّدَ كِتَابَتَهُ وَصَنْعَتَهُ-، فَأَقْبَلَ عُمَرُ يُقَلِّبُهُ وَيَسْتَحْسِنُهُ" اهـ.

“Dikatakan bahwa Umar bin Abdul-Aziz berkata: Saya ingin Anda menulis untuk saya salinan Al-Qur’an sesuai contoh ini (maksudnya, sesuai contoh yang telah tertulis pada dinding kiblat Masjid Nabawi). Maka dia pun menulis untuknya salinan Al-Qur'an sebagus mungkin di dalamnya - yaitu: memperbagus kwalitas tulisannya bagus dan kemahiranya - maka Umar pun datang, lalu dia membolak balikan lembarannya dan dia menyatakan bagus“.

Para penulis Kitab Siiroh (Biografi) menyatakan:

أَنَّ هَذِهِ الْكِتَابَاتِ الْقُرْآنِيَّةَ ظَلَّتْ عَلَى جِدَارِ قِبْلَةِ الْمَسْجِدِ النَّبَوِيِّ الشَّرِيفِ حَتَّى نَقَضَهَا الْحَرُورِيُّونَ، ثُمَّ أَعَادَهَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَطِيَّةَ السَّعْدِيُّ حِينَ وَلِيَ الْمَدِينَةَ سَنَةَ ثَلَاثِينَ وَمِائَةٍ؛ كَمَا رَوَاهُ ابْنُ زَبَالَةَ عَنْ غَيْرِ وَاحِدٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ (وَنَقَلَهُ عَنْهُ ابْنُ رُسْتَةَ فِي (الْأَعْلَاقِ النَّفِيسَةِ، ص: 70)، وَرَوَاهُ الْقَاضِي وَكِيعٌ فِي كِتَابِ (الطَّرِيقِ، ص: 386) عَنْ حُسَيْنِ بْنِ مُصْعَبٍ.

“Bahwa kaligrafi-kaligrafi Al-Qur'an ini masih tetap ada pada dinding kiblat Masjid Nabawi sampai datang orang-orang Haruuri (Khawarij) menghapusnya. Kemudian Abdul Malik bin Muhammad bin ‘Athiyyah al-Sa’diy mengembalikannya ketika ia menjadi gubernur Madinah pada tahun 130 H ; sebagaimana dikutip oleh Ibnu Zabbalah dari lebih dari seorang ulama (Dan ini di kutip darinya oleh Ibnu Rustah dlm “الأعلاق النفيسة” hal. 70).

Dan Al-Qodhi Wakii' meriwayatkannya dalam kitab “الطَّرِيْق” hal. 386 dari Husein bin Mush’ab.

=====

PERKEMBANGAN BUDAYA, TRADISI DAN PERADABAN JUGA BERPENGARUH

Seperti halnya tradisi dan budaya sering berubah, diantaranya: tradisi manusia berlomba-lomba dalam mendekorasi rumah mereka, sebagai ungkapkan jiwa seninya dalam dekorasi dan ukiran - maka begitu juga dengan masjid, hal ini telah disyaratkan oleh firman Allah Ta’ala:

﴿فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ ﴾

“Di masjid-masjid, Allah telah mememerintahkan agar (masjid-masjid itu) diangkat tinggi kemuliaanya ” [An-Nur: 36],

Bahwa dibolehkan dan bahkan mustahabb untuk menghiasinya, sehingga bisa terangkat tinggi seperti yang telah Allah SWT izinkan, dan lebih dimuliakan di atas rumah-rumah yang dihias, jika tidak, maka lebih rendah darinya dan tidak ditinggikan di atasnya, dan tidak pantas mesjid-mesjid lebih rendah dari rumah-rumah.

Jika dalil dari sebagian hadits tentang larangan itu kita terima, maka itu khusus pada masa dimana rumah-rumah tidak dihias atau tidak di dekor, maka keindahan masjid-masjid pada masa itu lebih tinggi di atas rumah-rumah tsb, meskipun tanpa hiasan, sehingga ketika situasi zaman berubah dan tradisi berubah, maka hukum pun harus berubah, ini dalam rangka mengamalkan dua dalil ; karena menggabungkan dua dalil itu lebih di dahulukan dari pada tidak mengamalkan salah satunya.

******

TIDAK SEMUA TANDA KIAMAT ITU BERARTI HARAM & TERCELA

Sabda-sabda Nabi  yang mengkabarkan bahwa mendekorasi masjid itu adalah salah satu tanda-tanda kiamat, maka Nabi  juga pernah mengkabarkan bahwa salah satu dari tanda kiamat adalah bahwa akan ada orang-orang yang tadinya miskin, tiba-tiba bermegah-megahan dengan membangun gedung-gedung yang tinggi bertingkat-tingkat, dan tanda itu tidak menunjukan hukum haram.

Jadi ketika dekorasi itu sudah menjadi ciri umum dalam tradisi kehidupan masyarakat, maka masjid juga tidak boleh kekurangan dari hal ini, namun tentunya tanpa harus berlebihan atau melampaui batas.

Dan hadits-hadits tentang tanda-tanda terjadinya kiamat itu tidak selalu buruk dan tidak selalu di haramkan. Bahkan mungkin ada tanda-tanda kiamat yang terkesan baik, bahkan berpahala seperti berjihad menaklukan Baitul Maqdis.

------

CONTOH HADITS-HADITS TANDA KIAMAT YANG TIDAK TERCELA  :

Berikut ini sebagian contoh hadits-hadits tanda Kiamat yang sebagian isinya bukan mengharamkan, akan tetapi hanya sebatas informasi tentang hal-hal yag akan di lalui sebelum terjadinya kiamat:

HADITS PERTAMA:

Dalam hadits Jibril yang diriwayatkan 'Umar, Jibril bertanya kepada Nabi SAW:

فَمَتَى السَّاعَةُ قَالَ ‏"‏ مَا الْمَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ ‏"‏ ‏.‏ قَالَ فَمَا أَمَارَتُهَا قَالَ ‏"‏ أَنْ تَلِدَ الأَمَةُ رَبَّتَهَا ‏"‏ ‏.‏ قَالَ وَكِيعٌ يَعْنِي تَلِدُ الْعَجَمُ الْعَرَبَ ‏"‏ وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُونَ فِي الْبِنَاءِ ‏"

Dia (Jibril AS) bertanya: "Kapan kiamat terjadi?"

Beliau  menjawab: 'Orang yang ditanya tentang hal itu tidak lebih tahu dari orang yang bertanya.'

Dia (Jibril AS) bertanya lagi: 'Lalu apa tanda-tandanya?'

Beliau  menjawab: 'Ketika wanita budak melahirkan majikannya' (Waki' berkata: Ini berarti ketika non-Arab akan melahirkan orang Arab") '

Dan ketika Anda melihat orang-orang yang tidak beralas kaki, telanjang, gembala kambing belomba-lomba dalam membangun gedung-gedung tinggi.' (HR. Muslim no. 8)

Dalam hadits ini hanya sebatas memberikan informasi, bukan mengharamkan seorang majikan menggauli budak perempuannya yang jika melahirkan anak, maka anak tersebut majikannya. Begitu juga bukan mengharamkan gedung-gedung yang tinggi.

HADITS KE DUA:

Dalam hadits ‘Auf bin Malik, bahwa Rosulullah  bersabda:

اعْدُدْ سِتًّا بيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ: مَوْتِي، ثُمَّ فَتْحُ بَيْتِ المَقْدِسِ، ثُمَّ مُوتَانٌ يَأْخُذُ فِيكُمْ كَقُعَاصِ الغَنَمِ، ثُمَّ اسْتِفَاضَةُ المَالِ حتَّى يُعْطَى الرَّجُلُ مِئَةَ دِينَارٍ فَيَظَلُّ سَاخِطًا، ثُمَّ فِتْنَةٌ لا يَبْقَى بَيْتٌ مِنَ العَرَبِ إلَّا دَخَلَتْهُ، ثُمَّ هُدْنَةٌ تَكُونُ بيْنَكُمْ وبيْنَ بَنِي الأصْفَرِ، فَيَغْدِرُونَ فَيَأْتُونَكُمْ تَحْتَ ثَمَانِينَ غَايَةً، تَحْتَ كُلِّ غَايَةٍ اثْنَا عَشَرَ أَلْفًا.

"Hitunglah enam perkara yang akan timbul menjelang hari qiyamat.

  • Kematianku,
  • Dibebaskannya Baitul Maqdis,
  • Wabah yang mematikan yang menyerang kalian bagaikan penyakit yang menyerang kambing sehingga mati seketika.
  • Melimpahnya harta hingga ada seseorang yang diberi seratus dinar namun masih marah (merasa kurang).

Timbulnya fitnah sehingga tidak ada satupun rumah orang Arab melainkan akan dimasukinya dan perjanjian antara kalian dan bangsa Bani Al Ashfar (Eropa) lalu mereka mengkhiyanati perjanjian

Kemudian mereka mengepung kalian dibawah delapan bendera (panji-panji) perang yang pada setiap bendera terdiri dari dua belas ribu personil". (HR, Bukhori no. 2940 dan no 3176)

Hadits tersebut tidak mengharamkan pembebasan Baitul Maqdis dan melimpahnya harta, bahkan suatu kebaikan bagi umat Islam dan agamanya.

HADITS KE TIGA:

Dari Anas radhiallahu anhu, sesungguhnya Nabi  bersabda:

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَبَاهَى النَّاسُ فِى الْمَسَاجِدِ  

“Tidak (akan) terjadi hari kiamat, sampai orang-orang saling membanggakan masjidnya.”
(HR. Abu Daud, no. 449, Nasa’i, no. 689, Ibn Majah, no. 739 di shahihkan oleh Al-Al-bany dalam Shahih Abu Daud)

HADITS KE EMPAT:

Dan diriwayatkan oleh Bukhari, 1/171 dari Anas bin Malik radhiallahu anhu:

 " يَتَبَاهَوْنَ بِهَا ، ثُمَّ لاَ يَعْمُرُونَهَا إِلاَّ قَلِيلاً

“Mereka saling membanggakannya, kemudian tidak ada yang memakmurkan melainkan sedikit.”

(Atsar ini disambungkan sampai kepada Nabi  oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al-Mushannaf, 1/309. Di dalamnya ada perawi yang tidak dikenal)

HADITS KE LIMA:

Dari Abu Hurairah -raiyallāhu 'anhu- dari Rasulullah  bersabda

لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تُقَاتِلُوا التُّرْكَ صِغَارَ الْأَعْيُنِ حُمْرَ الْوُجُوهِ ذُلْفَ الْأُنُوفِ، كَأَنَّ وُجُوهَهُمُ الْمَجَانُّ الْمُطْرَقَةُ"

"Kiamat tidak akan terjadi hingga kalian memerangi bangsa Turk yang BERMATA SIPIT, berwajah putih kemerah-merahan dan berhidung pesek. Wajah mereka seperti perisai besi (gepeng) yang dilapisi kulit. " (HR. Bukhori no. 2770)

Hadits-hadits diatas kandungannya adalah hanya informasi, bukan hukum.

Imam Al-Nawawi berkata dalam (Sharh Sahih Muslim, 1/159 Cet. دار إحياء التراث العربي):

"لَيْسَ كُلُّ مَا أَخْبَرَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ بِكَوْنِهِ مِنْ عَلَامَاتِ السَّاعَةِ يَكُونُ مُحَرَّمًا أَوْ مَذْمُومًا؛ فَإِنَّ تَطَاوُلَ الرُّعَاءِ فِي الْبُنْيَانِ وَفُشُوَّ الْمَالِ وَكَوْنَ خَمْسِينَ امْرَأَةً لَهُنَّ قَيِّمٌ وَاحِدٌ: لَيْسَ بِحَرَامٍ بِلَا شَكٍّ، وَإِنَّمَا هَذِهِ عَلَامَاتٌ، وَالْعَلَامَةُ لَا يُشْتَرَطُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ، بَلْ تَكُونُ بِالْخَيْرِ وَالشَّرِّ، وَالْمُبَاحِ وَالْمُحَرَّمِ، وَالْوَاجِبِ وَغَيْرِهِ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ". اهـ.

“Tidak semua yang Beliau  kabarkan sebagai tanda dari tanda-tanda Hari Kiamat itu dilarang atau tercela ; di antaranya hadits Jika para gembala bertinggi-tinggian dalam membangun gedung, dan harta melimpah, dan kondisi di mana lima puluh wanita hanya memiliki satu pria sebagai tulang punggung, itu semua bukan pengharaman, dan itu tidak diragukan lagi, tetapi ini adalah hanya tanda-tanda saja. Dan tanda-tanda kiamat itu sama sekali tidak menuntut semua itu, akan tetapi terkadang ada yang baik dan ada pula yang buruk, ada yang halal dan ada yang haram, ada yang wajib dan ada yang lainnya. Wallahu A’lam.

Imam Al-Manawi berkata dalam “
فَيْضُ القَدِيرِ شَرْحُ الجَامِعِ الصَّغِيرِ” (6/12, Cet. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah):

" وَمَا كُلُّ عَلَامَةٍ عَلَى قُرْبِ السَّاعَةِ تَكُونُ مَذْمُومَةً، بَلْ ذَكَرَ لَهَا أُمُورًا ذَمَّهَا كَارْتِفَاعِ الأَمَانَةِ، وَأُمُورًا حَمِدَهَا كَزَخْرَفَةِ الْمَسَاجِدِ، وَأُمُورًا لَا تُحْمَدُ وَلَا تُذَمُّ كَنُزُولِ عِيسَى؛ فَلَيْسَ أَشْرَاطُ السَّاعَةِ مِنَ الأُمُورِ المَذْمُومَةِ". اهـ.

“Tidak semua tanda dekatnya hari Kiamat itu tercela, akan tetapi terkadang Beliau  menyebutkannya hal-hal yang Beliau  cela, seperti hilangnya Amanah, dan terkadang hal-hal yang beliau  puji, seperti dekorasi masjid, dan hal-hal yang tidak dipuji atau dicela, seperti turunnya Nabi Isa ; maka tanda-tanda Kiamat itu bukan hal-hal yang tercela “

Di samping fakta di atas, juga bahwa dekorasi masjid itu dalam tradisi masyarakat telah menjadi simbol pengagungan masjid dan simbol pensucian, dan pada saat yang sama merupakan simbol kemajuan peradaban dan pemamkmuran dimuka bumi yang mana Allah telah menempatkan para hamba-Nya di sana, seperti yang Allah SWT firmankan:

﴿هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا﴾

“Dia telah menciptakan kalian dari bumi (tanah) dan menjadikan kalian sebagai pemakmurnya “. (QS. Hud: 6)

Sa’id bin ‘Ufair dalam kitabnya “Tarikh” menyebutkan:

لَمَّا بَلَغَ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَّ بَطْرِيقًا عَظِيمًا هَالَهُ مَنْظَرُ الْمَسْجِدِ الأُمَوِيِّ بِدِمَشْقَ لَمَّا رَآهُ وَعَجِبَ مِنْ زُخْرُفَتِهِ وَعَظَمَةِ بِنَائِهِ، رَجَعَ عَمَّا كَانَ يَنْوِيهِ مِنْ نَزْعِ فُسَيْفِسَائِهِ وَذَهَبِهِ لِإِدْخَالِ ثَمَنِهِ لِبَيْتِ الْمَالِ، وَنَزَعَ رُقْعَةَ السُّتُورِ الَّتِي كَانَ أَمَرَ بِوَضْعِهَا عَلَى زُخْرُفَتِهِ، وَقَالَ: "لَا أَرَى مَسْجِدَ دِمَشْقَ إِلَّا غَيْظًا لِلْكُفَّارِ".

Ketika sampai sebuah informasi kepada Umar bin Abd al-Aziz, semoga Allah SWT merahmatinya, bahwa ada Bithriiq (komandan pasukan Romawi yang membawahi minimal 1000 prajurit) yang agung terpesona dengan pemandangan Masjid Bani Umayyah di Damaskus ketika dia melihatnya dan mengagumi dekorasi dan kemegahan konstruksinya ; maka Umar membatalkan niatnya, yang tadinya berniat untuk menghapus mosaik dan dekorasi emasnya, maka setelah itu beliau memasukkan biayanya ke Baitul maal.

Dia [Umar] melepaskan kain tirai yang dulu dia perintahkan dengan tirai itu untuk menutup dekor dan hiasannya, lalu dia berkata:

" لَا أَرَى مَسْجِدَ دِمَشْقَ إِلَّا غَيْظًا لِلْكُفَّارِ"

"Saya tidak melihat masjid Damaskus kecuali untuk membuat geram orang-orang kafir."

(Perktaan Sa’id bin ‘Ufair dalam kitabnya “Tarikh” ini Disebutkan Imam Ath-Thorthushi / الطرطوشي dalam “الحوادث والبدع” (hal. 106-107, cet. Dar Ibnu Al-Jawzi).

Dan al-‘Allaamah Badruddin bin Al-Munayyir Al-Maliki mengatakan, seperti yang dikutip oleh Al-Damaamiini dalam Syarah Sahih Al-Bukhari “مصابيح الجامع’” (2/147, cet. Dar Al-Nawaadiir):

[فَإِنْ قُلْتَ: إِذَا كَانَ تَشْيِيدُ الْمَسَاجِدِ وَتَحْمِيرُهَا وَتَصْفِيرُهَا مُنْهَايًا عَنْهُ، فَكَيْفَ تُنَفَّذُ الوصِيَّةُ بِهِ؟ وَمَاذَا تَقُولُ فِي الْمَسْجِدِ الشَّرِيفِ وَقَدْ حَدَثَ فِيهِ مَا حَدَثَ مِنَ الانْهِيَارِ، هَلْ كَانَ الأَوْلَى أَنْ يُعَادَ بِالتَّشْيِيدِ؟ أَوْ كَمَا كَانَ بِاللَّبِنِ وَالْعَرِيشِ؟

قُلْتُ: قَدْ حَدَثَ عِندَ النَّاسِ مُؤْمِنِهِمْ وَكَافِرِهِمْ تَشْيِيدُ بُيُوتِهِمْ وَتَزْيِينُهَا، وَلَمْ يُمْكِنْ أَنْ يُمْنَعُوا مِنْ ذَلِكَ، فَكَانَتْ بُيُوتُ اللَّهِ أَوْلَى بِذَلِكَ؛ لِأَنَّا لَوْ بَنَيْنَا مَسَاجِدَنَا بِاللَّبِنِ وَسَقَفْنَاهَا بِالسَّعْفِ وَجَعَلْنَاهَا بَيْنَ الدُّورِ المُشَيَّدَةِ -وَلَعَلَّهَا لِأَهْلِ الذِّمَّةِ- لَكَانَتِ الاستهَانَةُ ظَاهِرَةً، فَحَدَثَ لِلنَّاسِ فَتَاوَى بِقَدْرِ مَا أَحْدَثُوا، وَلَوْ أَنَّ الْمَسْجِدَ الشَّرِيفَ أُعِيدَ بِالطِّينِ وَالسَّعْفِ، وَشُيِّدَتِ الْمَدِينَةُ إِلَى جَانِبِهِ لَكَانَ ذَلِكَ إِهْمَالًا مِنَ الْمُسْلِمِينَ، فَالَّذِي اخْتَارَهُ اللَّهُ الآنَ لِلْمُسْلِمِينَ خَيْرٌ إِنْ شَاءَ اللَّهُ، وَلَوْ عَادَ الزَّمَانُ لِمَا كَانَ عَلَيْهِ لَعَادَ الْمَسْجِدُ إِلَى مَا يُنَاسِبُ حَالَ الْقَوْمِ مِنَ التَّوَاضُعِ وَالتَّقَنُّعِ.] اهـ.

[Maka jika Anda mengatakan: Jika membangun masjid, mewarnainya dengan warna merah, dan warna kuning itu dilarang, bagaimana mungkin wasiatnya boleh dilaksanakan ?

Dan apa yang Anda katakan tentang Masjid Nabawi yang Mulia, telah terjadi di dalam nya suatu kejadian yang membuatnya roboh.

Apakah itu yang lebih utama membangunnya dengan mendirikan bangunan yang kokoh ? Atau dibangun seperti semula dengan tanah liat dan kayu-kayu penopang ?

Aku katakan: Telah terjadi pada umat manusia, baik yang mukminnya maupun yang kafirnya, mereka mendirikan bangunan rumah-rumah mereka, mendekorasinya, dan tidak mungkin mereka untuk dicegah dari itu, jika demikian maka rumah-rumah Allah lebih utama untuk itu ; Karena jika kita membangun mesjid kita dengan tanah liat dan menutupinya dengan pelepah pohon kurma dan menempatkannya di antara rumah-rumah yang dibangun dengan bangunan kokoh permanen - dan ada kemungkinan pemiliknya adalah para ahli dzimmah (warga non muslim) – maka penghinaan terhadap bangunan masjid akan nampak.

Maka keluarlah fatwa-fatwa baru untuk umat manusia yang disesuaikan dengan pembaharuan-pembaharuan yang mereka lakukan.

Dan jika seandainya masjid nabawi yang mulia dikembalikan bangunannya seperti dulu dengan tanah liat dan daun pelepah kurma, sementara rumah-rumah di Madinah dibangun dengan kokoh permanen di sebelahnya, maka sungguh itu adalah bentuk pengabaian dari kaum Muslimin.

Apa yang Allah SWT pilihkan untuk umat Islam sekarang itu lebih baik, insya Allah, dan jika seandainya zaman bisa kembali seperti semula (pada zaman Nabi ), maka bangunan masjid akan kembali ke kondisi yang sesuai dengan kondisi manusia saat itu yang disertai dengan rasa kerendahan hati dan rasa qona’ah. (SELESAI)

Dan Juga al-‘Allaamah Badruddin bin Al-Munayyir Al-Maliki mengatakan - Seperti yang dikutip oleh Syekh Abdul Rahman bin Abdul Qadir Al-Faasi dalam biografi ayahnya “تُحْفَةُ الأَكَابِرِ بِتَرْجَمَةِ الشَّيْخِ عَبْدِ الْقَادِرِ”-:

[كَانَ ذَلِكَ قَبْلَ التَّأَنُّقِ فِي البِنَاءِ، وَحَيْثُ تَأَنَّقَ النَّاسُ فِي غَيْرِ الْمَسَاجِدِ فَيَكُونُ عَدَمُ التَّأَنُّقِ فِيهَا إِهَانَةً لَهَا وَحَطًّا وَسُقُوطًا مِنَ الأَعْيُنِ، فَالْوَاجِبُ جَعْلُهَا مِنْ جِنْسِ غَيْرِهَا، وَتَرْفِيعُهَا وَتَحْسِينُهَا بِأَكْثَرَ مِنْ بُيُوتِ السُّكْنَى إِنْ أَمْكَنَ] اهـ

[Yang demikian itu terjadi sebelum adanya penghiasan bangunan, lalu ketika orang-orang sudah mulai menghiasi bangunan selain masjid, maka tanpa menghiasi masjid dalam bangunannya adalah merupakan penghinaan baginya, merendahkan dan menjatukan wibawanya dalam pandangan mata.

Maka wajib menjadikan masjid-masjid berimbang dengan bangunan yang lain, dan mangangkat kehormatannya serta mempercantiknya lebih banyak dari rumah-rumah tempat tinggal, jika itu memungkinkan.]

Dikutip dari kitab “تشنيف الآذان” karya Al-Hafidz Al-Sayyid Ahmad Bin Al-Siddiaq Al-Ghumaari (hal.: 151-154, Cet. Dar Jawaami' Al-Kalim), dan Al-Hafidz Ibnu Hajar yang dia nukil secara singkat dalam “فتح الباري” (1/541, Cet. Dar Al-Ma’rifah).

Dan pada makna yang sama, Imam al-Zarkasyi mengisyaratkan dalam kitab “إعلام الساجد” (hal. 336, Cet. “المجلس الأعلى للشؤون الإسلامية” dan berkata:

[قَالَ الْبَغَوِيُّ: وَمَنْ زُوِّقَ مَسْجِدًا -أَيْ: تَبَرُّعًا- لَا يُعَدُّ مِنَ الْمَنَاكِيرِ الَّتِي يُبَالَغُ فِيهَا كَسَائِرِ الْمَنَاكِيرِ؛ لِأَنَّهُ يَفْعَلُهُ تَعْظِيمًا لِشَعَائِرِ الْإِسْلَامِ، وَقَدْ سَامَحَ فِيهِ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ، وَأَبَاحَهُ بَعْضُهُمْ] اهـ.

[Al-Baghawi berkata: Siapa pun yang mendekorasi masjid - yaitu: sukarela dengan dana pribadi - tidak dianggap sebagai salah satu kemungkaran yang di besar-besarkan, seperti kemungkaran-kemungkaran lainnya. Karena dia melakukannya untuk mengangungkan syiar-syiar Islam. (Kutipan SELESAI)

Para penulis kitab Siirah (biografi) sangat perhatian dalam merinci tulisan-tulisan Al-Qur’an yang memenuhi dinding dan pintu Masjid Nabawi, dari abad pertama Hijriah dan seterusnya.

Seperti yang kita lihat pada Al-Qoodhi Wakii’ (wafat 196 H) dalam kitab “الطريق” (hlm.: 387-395) dari Abu Al-Husain Yahya bin Al-Hasan bin Jaafar ‘Al-Alawi, Pakar sejarah Ilmu Nasab (المؤرخ النسَّابة).

Dan seperti yang terdapat pada Ibnu Rustah dalam “الأعلاق النفيسة” (hal. 72-73), dan dia menceritakan gambaran tulisan Al-Qur’an dan tulisan-tulisan lain yang dia lihat pada musim haji tahun 290 H.

Dan cerita para sejarawan yang telah mengutip dari mereka tentang Masjid Nabawi yang Mulia, seperti Al-Hafidz Ibnu Al-Najjaar dalam “الدرة الثمينة” (hal.: 115-117). Dan al-‘Allaamah Al-Fairuuz Aabaadi dalam “المغانم المطابة في معالم طابة” (Hal. 166-170, manuskrip, Faydhullaah di Istanbul, Turki).

Imam al-Qurtubi berkata dalam (Al-Jami' Ahkam al-Qur'an, 21/267, Dar al-Kutub al-Masryah): 

" وَرُوِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ أَنَّهُ نَقَشَ مَسْجِدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَبَالَغَ فِي عِمَارَتِهِ وَتَزْيِينِهِ، وَذَلِكَ فِي زَمَنِ وِلَايَتِهِ قَبْلَ خِلَافَتِهِ، وَلَمْ يُنْكِرْ عَلَيْهِ أَحَدٌ ذَلِكَ". اهـ.

“Diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz bahwa beliau mengukir masjid Nabawi, bahkan berlebihan dalam arsitektur dan dekorasinya, dan itu terjadi selama masa jabatannya (menjadi gubernur Madinah) sebelum beliau menjadi khalifah, dan tidak ada yang mengingkarinya“.

Demikian pula, dengan riwayat ini Imam al-Taqiy al-Subki berhujjah diperbolehkannya untuk menyepuh Ka'bah dengan Emas dan menggelar lantainya dengan marmer, dia mengatakan :

"وَقَدْ قِيلَ: إِنَّ أَوَّلَ مَنْ ذَهَّبَ الْبَيْتَ فِي الإِسْلَامِ: الْوَلِيدُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ.. وَأَوَّلُ مَنْ فَرَشَهَا بِالْرَّخَامِ: الْوَلِيدُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ، وَلَمَّا عَمِلَ الْوَلِيدُ ذَلِكَ كَانَتْ أَئِمَّةُ الإِسْلَامِ مِنَ التَّابِعِينَ مَوْجُودِينَ وَبَقَايَا الصَّحَابَةِ، وَلَمْ يُنْقَلْ لَنَا عَنْ أَحَدٍ مِنْهُمْ أَنَّهُ أَنْكَرَ ذَلِكَ، ثُمَّ جَمِيعُ عُلَمَاءِ الإِسْلَامِ وَالصَّالِحُونَ وَسَائِرُ الْمُسْلِمِينَ يَحُجُّونَ وَيُبْصِرُونَ ذَلِكَ وَلَا يُنْكِرُونَ عَلَى مَمَرِّ الأَعْصَارِ". اهـ.

Dikatakan : bahwa orang pertama yang memoles Baitullah dengan Emas dalam Islam adalah Al-Waliid bin Abdul-Malik... dan yang pertama menggelar lantainya dengan marmer adalah Al-Waliid bin Abdul-Malik.

Dan ketika al-Walid melakukan itu, para imam Islam dari kalangan Tabi’iin hadir dan begitu juga dari sisa-sisa para sahabat Nabi  yang masih hidup, dan tidak ada keterangan yang sampai kepada kami bahwa salah satu dari mereka yang mengingkarinya.

Kemudian dalam sepenjang masa, semua para ulama Islam, orang-orang saleh dan semua kaum Muslimin lainnya yang datang untuk berhaji lalu melihat itu, tidak ada yang mengingkari nya “. (SELESAI

[Baca : Risalahnya “تنزل السكينة على قناديل المدينة”, dicetak bersama dengan kumpulan fatwa-fatwanya, 1/268-269, Cet. Dar al-Ma’rifah):

=====

PENGKLAIMAN DAN JAWABANNYA:

Al-Haafidz Ibnu Hajar mengklaim dalam “فتح الباري” 1/540:

Bahwa banyaknya Para ulama pada saat itu yang berdiam diri mengingkari apa yang dilakukan Umar bin Al-Aziz, mendekorasi Masjid Nabawi dan menulis ayat-ayat Al-Qur'an di atas pintu dan dinding nya, itu karena mereka takut akan timbulnya fitnah (gejolak).

JAWABANNYA:

Klaim yang tidak tepat sarsaran ; Karena ketakutan akan timbulnya fitnah itu hanya bisa terbayangkan dalam mengingkari apa yang para penguasa memiliki tujuan terkait dengan kekuasaan dan kerajaan mereka, adapun yang ini maka bukan termasuk.

Imam al-Taqiy al-Subki berkata dalam “تنزل السكينة” (1/270):

"وَقَدْ تَوَلَّى عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ عِمَارَةَ مَسْجِدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْوَلِيدِ، وَذَهَّبَ سَقْفَهُ، وَإِنْ قِيلَ: إِنَّ ذَلِكَ امْتِثَالٌ لِأَمْرِ الْوَلِيدِ، فَأَقُولُ: إِنَّ الْوَلِيدَ وَأَمْثَالَهُ مِنَ الْمُلُوكِ إِنَّمَا تَصْعُبُ مُخَالَفَتُهُمْ فِيمَا لَهُمْ فِيهِ غَرَضٌ يَتَعَلَّقُ بِمُلْكِهِمْ وَنَحْوِهِ، أَمَّا مِثْلُ هَـٰذَا -وَفِيهِ تَوْفِيرٌ عَلَيْهِمْ فِي أَمْوَالِهِمْ- فَلَا تَصْعُبُ مُرَاجَعَتُهُمْ فِيهِ؛ فَسُكُوتُ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَأَمْثَالِهِ وَأَكْبَرُ مِنْهُ؛ مِثْلُ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ، وَبَقِيَّةِ فُقَهَاءِ الْمَدِينَةِ، وَغَيْرِهَا: دَلِيلٌ لِجَوَازِ ذَلِكَ". اهـ.

“Umar ibn Abdul Aziz mengambil alih pembangunan Masjid Nabawi atas perintah dari al-Walid, dan beliau memoles atapnya dengan emas.

Dan jika dikatakan: Sesungguhnya yang beliau lakukan itu atas perintah Al-Walid.

Maka saya jawab: Sesungguhnya Al-Walid dan yang semisalnya dari para raja-raja, mereka itu tidak akan mempersulit hal-hal yang menyelisihinya itu, kecuali dalam hal yang mereka punya tujuan terkait dengan kekuasaan mereka dan yang semisalnya.

Adapun hal seperti ini - dan itu justru bisa menghemat harta mereka - tidak sulit bagi mereka untuk meninjau kembali dalam hal itu; maka diamnya Umar bin Abdul Aziz, orang-orang yang semisalnya dan orang-orang yang lebih tinggi keilmuannya dari pada beliau, seperti Sa’iid bin al-Musayyib, para Fuqohaa Madinah dan lainnya, adalah dalil akan bolehnya hal itu “. (Kutipan SELESAI)

Umar bin Abdul Aziz radhiyallahu 'anhu, tidak pernah mengeluarkan kebijakannya dalam hal yang berkaitan dengan proyek-proyeknya, baik ketika sebelum menjadi gubernur Madinah maupun sesudah diangkat, kecuali beliau lakukan berdasarkan pendapat para ulama tentang hal itu, seperti Sa’iid bin al-Musayyib dan lainnya dari tujuh ulama ahli fiqih Madinah, bahkan dia membebankan dosanya kepada mereka jika mereka melihat pelanggaran hukum dan mereka tidak memberitahunya, dengan demikian maka tidak terbayangkan akan timbulnya fitnah jika ada yng mengingkarinya dengan yang haq.

Dalam kitab-kitab Siirah (Sejarah Biografi) terdapat keterangan:

Bahwa ketika Umar bin Abdul Aziz, semoga Allah merahmatinya, membangun Masjid Nabawi dan pembangunannya sampai ke arah dinding kiblat, maka beliau tidak ingin memutuskannya sendirian tanpa melibatkan para syeikh dari penduduk Madinah. Maka beliau mengumpulkan mereka untuk menghadiri proses pembangunannya.

Ibnu Zabaalah meriwayatkan dari Muhammad bin Ammar dari kakeknya, yang berkata:

"لَمَّا صَارَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ إِلَى جِدَارِ الْقِبْلَةِ دَعَا مَشَيْخَةً مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ مِنْ قُرَيْشٍ وَالْأَنصَارِ وَالْعَرَبِ وَالْمُوَالِي، فَقَالَ لَهُمْ: "تَعَالُوا إِلَيَّ! احْضُرُوا بُنْيَانَ قِبْلَتِكُمْ! لَا تَقُولُوا غَيَّرَ عُمَرُ قِبْلَتَنَا" فَجَعَلَ لَا يَنْزَعُ حَجَرًا إِلَّا وَضَعَ مَكَانَهُ حَجَرًا". اهـ.

Ketika Umar bin Abdul Aziz pembangunannya sampai pada dinding kiblat, maka dia memanggil para syeikh penduduk Madinah dari Quraisy, Anshar, Arab, dan mawaali (para mantan budak), lalu berkata kepada mereka:

“Datanglah kalian kepadaku ! Hadirilah pembangunan dinding arah kiblat kalian ! Jangan sampai kalian mengatakan bahwa Umar telah mengubah bentuk dinding arah kiblat kami.”

Maka yang dia lakukan, tidak sekali-kali mencopot batu yang lama kecuali dia langsung menggantikannya dengan batu yang lain di tempatnya “

[Dikutip dari al-‘Allaamah Nuruddin Al-Samhuudi dalam وَفَاءُ الوَفَاءِ بِأَخْبَارِ دَارِ الْمُصْطَفَى (2/271), Cet. مؤسسة الفرقان للتراث الإسلامي]

Umar bin Abdul Aziz - semoga Allah SWT merahmatinya - tidak akan menolak untuk menerima kebenaran jika dia telah memuraja’ahnya kembali, karena dia adalah sosok orang yang kuat dalam mengikuti Sunnah.

Oleh karena itu Imam Al-Bukhari meriwayatkan dalam “التاريخ الكبير” (6/175) dari Ayyub Al-Sakhtiani, yang berkata:

" لَا نَعْلَمُ أَحَدًا مِمَّنْ أَدْرَكْنَا كَانَ آخَذًا عَنْ نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ مِنْهُ". اهـ

“Kami tidak pernah tahu ada seseorang dari orang-orang yang kami temukan, yang lebih kuat darinya dalam berpegang teguh dengan sunnah Nabi Allah “.(Kutipan Selesai)

Imam Malik bin Anas berkata:

كَانَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ بِالْمَدِينَةِ قَبْلَ أَنْ يُسْتَخْلَفَ وَهُوَ يُعْنَى بِالْعِلْمِ وَيَحْفَرُ عَنْهُ وَيُجَالِسُ أَهْلَهُ، وَيَصْدُرُ عَنْ رَأْيِ سَعِيدٍ بْنِ الْمُسَيَّبِ، وَكَانَ سَعِيدٌ لَا يَأْتِي أَحَدًا مِنَ الأُمَرَاءِ غَيْرَ عُمَرَ، أَرْسَلَ إِلَيْهِ عَبْدُ الْمَلِكِ فَلَمْ يَأْتِهِ، وَأَرْسَلَ إِلَيْهِ عُمَرُ فَأَتَاهُ، وَكَانَ عُمَرُ يَكْتُبُ إِلَى سَعِيدٍ فِي عِلْمِهِ". اهـ

“Umar bin Abdul Aziz berada di Madinah sebelum ia diangkat sebagai khalifah. Ia sangat peduli dengan ilmu, menggalinya dan duduk bersama para ahli ilmu, dan dia senantiasa mengedepankan pendapat Sa’iid bin Al-Musayyib.

Sa’iid tidak mau datang kepada seorangpun dari kalangan para penguasa kecuali kepada Umar.

Abdul Malik pernah berkirim surat kepadanya untuk datang, tapi dia tidak mau datang kepadanya, namun ketika Umar berkirim surat kepadanya untuk datang ; maka dia segera datang kepadanya.

Dan dulu Umar rajin menulis ilmu yang di dapat dari Sa’iid.

(Di kutip dari “تهذيب الكمال” karya al-Hafidz Abi Al-Hajjaaj Al-Mizzii, 21/438, Cet. Muassasah ar-Risaalah).

Dan Ibnu Saad meriwayatkan dalam “الطبقات الكبرى” (5/334, Cet. Dar Shoodir) dari Abdullah bin Dzakwan, semoga Allah merahmatinya, dia berkata:

لَمَّا قَدِمَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ الْمَدِينَةَ وَالِيًا عَلَيْهَا كَفَّ -فِي الطَّبَقَاتِ: كَتَبَ، وَالتَّصْحِيحُ مِنْ تَهْذِيبِ الْكِمَالِ- حَاجِبُهُ النَّاسَ، ثُمَّ دَخَلُوا، فَسَلَّمُوا عَلَيْهِ، فَلَمَّا صَلَّى الظُّهْرَ دَعَا عَشَرَةً مِنْ فُقَهَاءِ الْبَلَدِ: عُرْوَةَ بْنَ الزُّبَيْرِ، وَعُبَيْدَ اللَّهِ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ، وَأَبَا بَكْرٍ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ، وَأَبَا بَكْرٍ بْنَ سُلَيْمَانَ بْنِ أَبِي حَثْمَةَ، وَسُلَيْمَانَ بْنَ يَسَارٍ، وَالْقَاسِمَ بْنَ مُحَمَّدٍ، وَسَالِمَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ، وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ، وَخَارِجَةَ بْنَ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ، فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ، ثُمَّ قَالَ: إِنِّي دَعَوْتُكُمْ لِأَمْرٍ تُؤْجَرُونَ عَلَيْهِ، وَتَكُونُونَ فِيهِ أَعْوَانًا عَلَى الْحَقِّ؛ مَا أُرِيدُ أَنْ أَقْطَعَ أَمْرًا إِلَّا بِرَأْيِكُمْ أَوْ بِرَأْيِ مَنْ حَضَرَ مِنْكُمْ، فَإِنْ رَأَيْتُمْ أَحَدًا يَتَعَدَّى أَوْ بَلَغَكُمْ عَنْ عَامِلٍ لِي ظَلَامَةٌ فَأَحْرِجْ بِاللَّهِ عَلَى أَحَدٍ بَلَغَهُ ذَلِكَ إِلَّا أَبْلَغَنِي. فَجَزَوْهُ خَيْرًا وَافْتَرَقُوا..

Ketika Umar bin Abdul Aziz datang ke Madinah sebagai gubernurnya, dia berhenti (dalam kitab “الطَّبَقَاتُ”: dia menulis, dan koreksi dari kitab “تَهْذِيبُ الْكِمَالِ”) orang-orang mengerumuninya, lalu mereka masuk, dan mereka mengucapkan salam pada nya.

Ketika dia selesai shalat dzuhur, maka dia memanggil sepuluh orang dari para ulama ahli Fiqih kota Madinah, yaitu Urwah bin Al-Zubayr, Ubaidullah bin Abdullah bin ‘Utbah, Abu Bakr bin Abdur Rahman bin Al-Harits, Abu Bakar bin Suleiman bin Abi Hatsamah, Suleiman bin Yasar, Al-Qosim bin Muhammad, Salim bin Abdullah, Abdullah bin Abdullah bin Umar, Abdullah bin ‘Aamir bin Rabi’ah, dan Kharijah bin Zaid bin Tsabit.

Lalu dia memuji dan memuja Allah dengan apa yang layak bagi Allah, kemudian dia berkata:

Aku telah mengundang kalian untuk suatu hal yang kalian akan diberi pahala, dan di dalamnya kalian akan menjadi para penolong kebenaran. Saya tidak ingin mengambil sebuah keputusan kecuali dengan pendapat kalian atau pendapat orang yang hadir dari kalian.

Jika kalian melihat seseorang yang melampaui batas (melanggar), atau telah sampai kepada kalian sebuah informasi bahwa ada seorang pekerja ku telah berlaku dzalim (tidak adil), maka saya merasa berdosa kepada Allah atas seseorang yang mendapatkan informasi tersebut kecuali kecuali jika dia memberi tahu kepada saya”.

Maka merekapun mengucapkan Jazaakallaah Khoiran lalu berpisah. (Kutipan Selesai).

=====

DEKORASI KA’BAH DAN HIASANNYA:

Hal yang sama tentang dekorasi Mesjid Nabawi berlaku pula pada Ka'bah ; Umat Islam secara turun temurun, dari generasi ke generasi, tanpa bisa dipungkiri, mereka menyulam Kiswah Ka’bah dan pintunya dengan kaligrafi ayat-ayat Al-Qur'an dengan menggunakan benang emas dan lainnya.

Al-Azraqi (wafat. 250 H) menyebutkan gambaran pintu Ka'bah dlm kitab “أخبار مكة” (1/244 Cet. مكتبة الثقافة الدينية); maka dia menuturkan bahwa ada tertulis di atasnya kalimat berikut ini:

"بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ"

﴿وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ﴾ [البقرة: 149]

"مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ".

Bahkan, Imam Taqiyud-Din al-Subki mengutip Ijma’ umat Islam tentang hal ini, maka dia berkata dalam Risalahnya “تَنَزُّلُ السَّكِينَةُ عَلَى قَنَادِيلِ الْمَدِينَةِ” (1/276):

"وَأَمَّا تَذْهِيْبُ الْكَعْبَةِ: فَإِنَّ الْوَلِيدَ بْنَ عَبْدِ الْمَلِكِ بَعَثَ إِلَى خَالِدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ وَالِيِ مَكَّةَ سِتَّةً وَثَلَاثِينَ أَلْفَ دِينَارٍ وَجَعَلَهَا عَلَى بَابِهَا وَالْمِيزَابِ وَالْأَسَاطِينِ وَالْأَرْكَانِ، وَذُكِرَ فِي "الرِّعَايَةِ" عَنْ أَحْمَدَ: أَنَّ الْمَسْجِدَ يُصَانُ عَنْ الزُّخْرُفَةِ، وَهُمْ مَحْجُوْجُوْنَ بِمَا ذَكَرْنَاهُ مِنْ إِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ فِي الْكَعْبَةِ، ذَكَرَ ذَلِكَ صَاحِبُ "الطِّرَازِ" مِنَ الْمَالِكِيَّةِ". اهـ.

“Adapun memoles Ka'bah dengan emas: maka Al-Waliid bin Abdul-Malik mengirim kepada Khalid bin Abdullah, gubernur Mekkah dana sebesar 36.000 dinar (153.000 gram Emas), dan menempatkannya untuk pintu, talang, pilar-pilar penyangga, dan tiang-tiang sudut.

Dan disebutkan dalam " الرعايةdari Imam Ahmad: bahwa masjid harus dilindungi dari dekorasi.

Namun mereka yang membolehkannya dibenarkan dengan argumentasi dengan apa yang kami sebutkan tentang Ijma’ umat Islam akan bolehnya mendekorasi Ka'bah. Ini disebutkan oleh penulis kitab " الطراز" dari madzhab Maliki “. (Kutipan Selesai)

[Satu dinar beratnya - pada saat ini – adalah: 4,25 gram (empat seperempat gram emas - 24 karat) ]

Sebagian para ulama dan para ahli hadits dari kalangan Salaf dan Kholaf menyatakan bahwa diperbolehkan untuk menulis ayat-ayat Al-Qur'an pada dinding masjid-masjid:

Al-Hafidz Abu Bakar bin Abi Shaybah menyebutkan di dalam “Al-Musannaf” 2/449 no. 4619 (Tahqiq oleh: Hamad Al-Jum’ah dan Muhammad Al-Luhaidaan, Cet. Maktabah ar-Rusyd):

عَنْ عَطَاءٍ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ: أَنَّهُ سُئِلَ عَنِ الْمَسْجِدِ يُكْتَبُ فِي قِبْلَتِهِ مِنَ الْقُرْآنِ، فَلَمْ يَرَ بِهِ بَأْسًا،

“Dari Atho bin Abi Robaah (wafat 114 H): Dia ditanya tentang Masjid yang di arah kiblat nya di tulis Al-Qur'an, Maka dia berpendapat tidak ada yang salah dengan itu”.

Atho bin Abi Robaah ini dia adalah sebagai referensi hukum Islam bagi orang-orang pada masanya dalam mengeluarkan fatwa di tanah suci Haram Makkah, dan dia pernah menjumpai dua ratus sahabat Nabi SAW.

Oleh sebab itu Ibnu Abi Syaibah menulis kan BAB di kitab nya dengan judul:

" الْكِتَابَةُ فِي الْمَسْجِدِ مِنَ الْقُرْآنِ أَوْ غَيْرِهِ".

“Tulisan di masjid berasal dari Al-Qur’an atau lainnya.”

Dan Ibnu al-Jawzi al-Hanbali meriwayatkan dalam kitab “التبصرة” (1/386, Cet. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah) dari Ahmad ibnu Sa`id al-Daarimi, yang berkata:

"صَلَّى أَبُو زُرْعَةَ الرَّازِيُّ -وَكَانَ إِمَامَ أَهْلِ عَصْرِهِ فِي الْحَدِيثِ- فِي مَسْجِدِهِ عِشْرِينَ سَنَةً بَعْدَ قُدُومِهِ مِنَ السَّفَرِ، فَلَمَّا كَانَ يَوْمٌ مِنَ الْأَيَّامِ قَدِمَ عَلَيْهِ قَوْمٌ مِنْ أَصْحَابِ الْحَدِيثِ، فَنَظَرُوا فَإِذًا فِي مِحْرَابِهِ كِتَابَةٌ، فَقَالُوا لَهُ: كَيْفَ تَقُولُ فِي الْكِتَابَةِ فِي الْمَحَارِيبِ؟ قَالَ: "قَدْ كَرِهَهُ قَوْمٌ مِمَّنْ مَضَى"، قَالُوا لَهُ: هُوَ ذَا فِي مِحْرَابِكَ كِتَابَةٌ! أَمَا عَلِمْتَ بِهِ! قَالَ: "سُبْحَانَ اللَّهِ! رَجُلٌ يَدْخُلُ عَلَى اللَّهِ تَعَالَى وَيَدْرِي مَا بَيْنَ يَدَيْهِ؟"؟!".

Abu Zur’ah al-Razi (wafat 264 H. Dia seorang imam bagi orang-orang pada masanya dalam ilmu hadits) dia melakukan Sholat di Masjidnya selama 20 tahun sejak kepulangannya dari safar.

Pada suatu hari, sekelompok orang dari para ahli hadits datang kepadanya, dan mereka melihat-lihat, ternyata ada tulisan di mihrabnya, maka mereka berkata kepadanya: Bagaimana pendapatmu tentang menulis di mihrab?

Dia berkata: " Ada sekelompok orang yang telah lalu, membencinya."

Mereka berkata kepadanya: Nah ini, Ada tulisan di mihrabmu ! Bukankah engkau telah mengetahuinya?

Maka dia berkata: "Subhanallah ! (Bagaimana bisa) Seseorang masuk untuk manghadap Allah Ta’aala, tapi orang itu mengetahui apa yang ada di hadapannya?!"

=====

TATA LETAK TULISAN KALIGRAFI AYAT-AYAT AL-QURAN DI MASJID

Para fuqaha dari madzhab-madzab fiqh telah menetapkan beberapa aturan tata letak untuk menulis ayat-ayat Al-Qur'an pada dinding dan mihrab masjid, dan mereka menyatakan juga makruh hukumnya meletakan tulisan-tulisan tersebut pada posisi yang memungkin terjadinya pelanggaran.

Ini menunjukkan hilangnya hukum makruh jika tidak ada kemungkinan tersebut ; karena ada qaidah yang mengharuskan itu, yaitu:

"الحُكْمُ يَدُورُ مَعَ عِلَّتِهِ وُجُودًا وَعَدَمًا".

"Bahwa hukum itu berlaku bersama illatnya (sebabnya), maka adanya illat adalah adanya hukum, dan tidak adanya illat adalah tidak adanya hukum".

Bahkan banyak dari mereka yang menyatakan bahwa berlaku nya hukum syariat tersebut pada saat terjadi adanya illat, bukan sekedar dikhawatirkan terjadi:

------

MENURUT MADZHAB HANAFI:

Dalam kitab (Al-Fataawa Al-Hindiyah, 1/109, Cet. Dar Al-Fikr) di katakan:

" وَلَيْسَ بِمُسْتَحْسَنٍ كِتَابَةُ الْقُرْآنِ عَلَى الْمَحَارِيبِ وَالْجُدْرَانِ؛ لِمَا يُخَافُ مِنْ سُقُوطِ الْكِتَابَةِ وَأَنْ تُوَطَأَ " اهـ.

“Tidak dianggap bagus menulis Al-Qur’an di mihrab-mihrab dan dinding-dinding, karena dikhawtirkan tulisan itu jatuh lalu terinjak-injak.”

Dan juga di halaman lain (5/323) di katakan: 

" وَلَوْ كُتِبَ الْقُرْآنُ عَلَى الْحِيطَانِ وَالْجُدْرَانِ: قَالَ بَعْضُهُمْ: يُرْجَى أَنْ يَجُوزَ، وَقَالَ بَعْضُهُمْ: كَرِهُوا ذَلِكَ مَخَافَةَ السُّقُوطِ تَحْتَ أَقْدَامِ النَّاسِ. كَذَٰلِكَ فِي فَتَاوَىٰ قَاضِي خَانٍ". اهـ

“Dan jika Al-Qur'an ditulis di tembok pagar dan dinding: sebagian dari mereka mengatakan: Diharapkan itu diperbolehkan. Dan sebagian dari mereka memakruhkan hal itu karena takut jatuh di bawah kaki orang-orang. Demikian juga dalam fatwa Qaadhi Khaan”.

Imam Al-Hashkafii Al-Hanafi berkata dalam (Al-Durr Al-Mukhtaar, 1/658, Cet. Dar Al-Fikr):

"(وَلَا بَأْسَ بِنَقْشِهِ خَلَا مِحْرَابِهِ) فَإِنَّهُ يُكْرَهُ؛ لِأَنَّهُ يُلْهِي الْمُصَلِّيَ، وَيُكْرَهُ التَّكَلُّفُ بِدَقَائِقِ النُّقُوشِ وَنَحْوِهَا خُصُوصًا فِي جِدَارِ الْقِبْلَةِ، قَالَهُ الْحَلَبِيُّ، وَفِي حَظْرِ "الْمُجْتَبَى": وَقِيلَ يُكْرَهُ فِي الْمِحْرَابِ دُونَ السَّقْفِ وَالْمُؤَخَّرِ ". اهـ.

“(Tidak mengapa mengukirnya kecuali mihrabnya) maka sungguh itu adalah makruh, karena membuat terlena orang sholat. Dimakruhkan berlebihan dengan ukiran-ukiran yang rumit kecil-kecil dan sejenisnya, terutama pada dinding arah kiblat. Ini dikatakan oleh al-Halabi.

Dan dalam larangan "al-Mujtabaa": Dikatakan bahwa hanya dimakruhkan di mihrab, bukan di langit-langit dan bagian belakang “.

Dan al-‘Allaamah Ibnu ‘Aabidiin berkata dalam “حَاشِيَتُهُ عَلَى الْدُّرِّ الْمُخْتَار” (2/246-247, Cet. Dar Al-Fikr):

" عَنِ "الْفَتْحِ": أَنَّهُ تُكْرَهُ كِتَابَةُ الْقُرْآنِ وَأَسْمَاءِ اللَّهِ تَعَالَى عَلَى الدَّرَاهِمِ وَالْمَحَارِيبِ وَالْجُدْرَانِ وَمَا يُفْرَشُ؛ وَمَا ذَٰلِكَ إِلَّا لِاحْتِرَامِهِ وَخَشْيَةِ وَطْئِهِ وَنَحْوِهِ مِمَّا فِيهِ إِهَانَةٌ". اهـ.

Dari “Al-Fath”: Adalah makruh untuk menulis Al-Qur'an dan nama-nama Allah Ta’aala pada uang dirham, mihrab, dinding, dan sesuatu yang dihamparkan di lantai. Dan itu hanya karena untuk memuliakannya dan takut terinjak dan semisalnya, yang mengandung unsur penghinaan”. (Kutipan Selesai)

Maka dimakruhkannya itu menurut mazhab Hanafi adalah disebabkan oleh dua illat:

Pertama: adalah :

“كُونُ الْكِتَابَةِ مُلْهِيةً لِلْمُصَلِّي”

Bahwa tulisan itu membuat terlena orang-orang sholat, dan jika illat itu tidak ada, maka hilanglah hukum makruhnya.

Dan kedua : adalah : 

“كُونُ الْكِتَابَةِ مَظِنَّةَ السُّقُوط”

"Bahwa tulisan seperti itu memungkinkan untuk terjatuh, lalu terinjak-injak, maka ini akan mengantarkan pada penghinaan terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang harus di muliakan".

Dengan demikian jika ditulis dengan kokoh dan yakin tidak akan jatuh, sehingga tidak dikawatirkan akan jatuh atau tidak dikhawatirkan akan terjadi penghinaan: maka tidak ada hukum makruh di dalamnya, apalagi pengharaman.

-------

MENURUT MADZHAB MALIKI:

Imam al-Faqih Abu Ali Sanad Ibnu Anan al-Maliki (wafat 541 H), penulis Kitab " الطراز" syarah kitab “المدونة” dalam tiga puluh safar (yakni: bab), di dalamya dia mengutip: “Ijma’ umat Islam tentang bolehnya penyepuhan Ka'bah dengan Emas “, dikutip darinya oleh Imam Al-Taqi Al-Subki dalam “تنزل السكينة” (1/276).

Al-‘Allaamah Ibnu Rusyd al-Maliki berkata dalam “البيان والتحصيل” (1/270, Cet. Dar al-Gharb al-Islami):

"وَكَرِهَ فِي أَوَّلِ سَمَاعِ مُوسَى أَنْ يُكْتَبَ فِي قِبْلَةِ الْمَسْجِدِ بِالصُّبْغِ آيَةُ الْكُرْسِيِّ أَوْ غَيْرُهَا مِنَ الْقُرْآنِ لِهَٰذِهِ الْعِلَّةِ. وَلِابْنِ نَافِعٍ وَابْنِ وَهْبٍ فِي "الْمَبْسُوطَةِ": إِجَازَةُ تَزْيِينِ الْمَسَاجِدِ وَتَزْوِيقِهَا بِالشَّيْءِ الْخَفِيفِ، وَمِثْلُ الْكِتَابَةِ فِي قِبْلَتِهَا، مَا لَمْ يُكْثَرْ ذَلِكَ حَتَّىٰ يَكُونَ مِمَّا نُهِىٰ عَنْهُ مِنْ زَخْرَفَةِ الْمَسَاجِدِ". اهـ.

Dan dia memakruhkannya pada pendengaran pertama Musa, untuk menulis di kiblat masjid dengan mewarnai ayat kursi atau bagian lain dari Al-Qur'an karena alasan / illat ini.

Dan bagi pendapat Ibnu Naafi’ dan Ibnu Wahb dalam “المبسوطة”: “Dibolehkan menghias masjid-masjid dan mendekornya dengan sesuatu yang ringan, dan mentamtsilkan tulisan di kiblatnya selama itu tidak kebanyakan sehingga masuk dalam katagori yang dilarang yaitu mendekorasi masjid-masjid ”.

Dan Imam al-Barzali al-Maliki berkata dalam “Fataawa”-nya (1/356, Cet. Dar al-Gharb al-Islami):

وَكَرَاهَةُ الكَتْبِ وَالتَّزْوِيقِ لِقِبْلَتِهِ، وَفِي سَمَاعِ ابْنِ الْقَاسِمِ: كَرِهَ النَّاسُ تَزْوِيقَ الْقِبْلَةِ حِينَ جُعِلَ بِالذَّهَبِ؛ لِأَنَّهُ يُشْغِلُ المُصَلِّينَ، وَابْنُ رُشْدٍ: لِابْنِ نَافِعٍ وَابْنِ وَهْبٍ جَوَازُ تَزْوِيقِ الْمَسَاجِدِ بِمَا خَفَّ وَالكَتْبِ فِي قِبْلَتِهَا. وَظَاهِرُ الرِّوَايَةِ عِنْدَنَا أَنَّهُ مُكْرَهٌ تَزْوِيقُ الْمَسَاجِدِ بِالذَّهَبِ؛ لِأَنَّهَا تُشْغِلُ المُصَلِّي، فَلَوْ كَانَتْ حَيْثُ لَا تُشْغِلُهُ: فَظَاهِرٌ أَنَّهَا جَائِزَةٌ، وَقَدْ رَأَيْتُ ذَلِكَ فِي جَامِعِ الْقَيْرَوَانِ، وَمَرَّتْ عَلَيْهِ قُرُونٌ وَلَمْ يُسْمَعْ فِيهِ مَنْ يُنْكِرُ، وَكَذَٰلِكَ هُوَ فِي جَامِعِ الزَّيْتُونَةِ، غَيْرَ أَنَّ بَعْضَهُ بَيْنَ يَدَيْ الْإِمَامِ، فَقَالَ لِي شَيْخُنَا الإِمَامُ: إِنَّ الْوُلَاةَ هُمْ الَّذِينَ وَضَعُوهُ، وَجُدِّدَ فِي وَقْتِ إِمَامَتِهِ بِهِ، وَسَكَتَ عَنْهُ لِكُونِهِ -وَاللَّهُ أَعْلَمُ- مَكْرُوْهًا". اهـ.

Makruh menulis dan menghiasi kiblat. Dan dalam mendengarkan Ibnu al-Qasim berkata: Orang-orang memakruhkan menghiasi kiblat jika dibuat dari emas; karena menyibukkan perhatian orang Sholat.

Ibnu Rusyd: Menurut Ibnu Nafi' dan Ibn Wahb, diperbolehkan menghiasi masjid dengan sesuatu yang ringan dan tulisan di kiblatnya.... Dan yang tampak dari riwayat tersebut adalah makruh menghiasi masjid dengan emas ; karena menyibukkan perhatian orang Sholat.

Maka jika hiasan itu tidak menyibukkan perhatianya, nampaknya dibolehkan. Saya melihat itu di masjid Jami’ Qairowan, dan berabad-abad berlalu dan tidak pernah terdengar ada yang mengingkarinya, dan begitu juga di masjid az-Zaytunah, kecuali jika sebagiannya berada di hadapan imam.

Syekh kami al-Imam berkata kepadaku: Para penguasa adalah orang-orang yang meletakkannya, dan itu diperbarui pada saat dirinya jadi imam tetap di masjid itu, adapun dia diam tentang hal itu karena – wallahu a’lam - itu adalah hanya makruh”. (Kutipan Selesai)

Al-‘Allaamah al-Khurasyi mengatakan setelah mengutip perkataan Imam al-Barzali diatas dalam kitabnya “الشرح على مختصر خليل” (1/101, Cet. Dar al-Fikr):

" وَالظَّاهِرُ أَنَّ هَٰذَا هُوَ الْمُعَوَّلُ عَلَيْهِ". اهـ.

“Tampaknya inilah pendapat yang diandalkan.” (Selesai)

Al-Allamah Al-Desouki mengatakan dalam bukunya “حاشيته على الشرح الكبير” (1/65, Cet. Dar Ihya Al-Kutub Al-Arabiyyah):

" وَاعْلَمْ أَنَّ تَزْوِيقَ الْحِيطَانِ وَالسَّقْفِ وَالْخَشَبِ وَالسَّاتِرِ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ جَائِزٌ فِي الْبُيُوتِ، وَفِي الْمَسَاجِدِ مَكْرُوهٌ إِذَا كَانَ بَحَيْثُ يُشْغِلُ الْمُصَلِّيَ، وَإِلَّا فَلَا ".

"Dan ketahuilah bahwa menghiasi dinding, langit-langit, kayu, dan tirai dengan emas dan perak dibolehkan di rumah-rumah, adapun di masjid-masjid adalah makruh jika mengganggu kekhusyu’an orang shalat, tapi jika tidak maka tidak “.

Kesimpulan madzhab Maliki:

Hukum Makruh terhadap tulisan kaligrafi di masjid itu menurut Madzhab Maliki adalah didasarkan pada illat (sebab) : yaitu karena tulisan itu dapat mengalihkan perhatian orang-orang sholat dari shalat nya. Jika tulisan itu tidak mengganggu atau tidak membuat mereka terlena ; maka yang dijadikan pegangan oleh mereka adalah bahwa itu diperbolehkan meskipun di arah kiblat atau terbuat dari emas.

------

MENURUT MADZHAB SYAFI’I:

Masalah dekorasi masjid dan penulisan ayat-ayat al-Qur’an itu perkara yang luas menurut Madzhab Syafi'i, asalkan tujuannya untuk mengagungkan syiar-syiar Islam. Adapun Larangan dalm hadits tersebut maka itu didasarkan pada illat (sebab), yaitu karena tidak adanya kekokohan dan keamanan terhadap tulisan ayat-ayat al-Qur’an sehingga dapat menyebabkan jatuh pada tempat yang menghinakannya, atau karena mengganggu konsentrasi orang sholat, maka jika semua itu tidak ada, maka itu tidaklah makruh dan tidak pula haram.

Imam al-Zarkasyi dalam kitab “إعلام الساجد” (hal. 336, Cet. “المجلس الأعلى للشؤون الإسلامية”) berkata:

"قَالَ الْبَغَوِيُّ فِي «شَرْحِ السُّنَّةِ»: لَا يَجُوزُ تَنْقِيشُ الْمَسْجِدِ بِمَا لَا إِحْكَامَ فِيهِ. وَقَالَ فِي «الْفَتَاوَى»: فَإِن كَانَ فِيهِ إِحْكَامٌ فَلَا بَأْسَ؛ فَإِنَّ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بَنَى الْمَسْجِدَ بِالْقَصَّةِ وَالْحِجَارَةِ الْمَنْقُوشَةِ. قَالَ الْبَغَوِيُّ: وَمَنْ زَوَّقَ مَسْجِدًا -أَيْ: تَبَرُّعًا- لَا يُعَدُّ مِنَ الْمَنَاكِيرِ الَّتِي يُبَالَغُ فِيهَا كَسَائِرِ الْمَنَاكِيرِ؛ لِأَنَّهُ يَفْعَلُهُ تَعْظِيمًا لِشَعَائِرِ الْإِسْلَامِ، وَقَدْ سَامَحَ فِيهِ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ، وَأَبَاحَهُ بَعْضُهُمْ." اهـ.

[ Al-Baghawi berkata dalam “Syarah as-Sunnah”: Tidak boleh mendekorasi masjid dengan sesuatu yang tidak kokoh (yang mudah terjatuh).

Dan dia berkata dalam “Al-Fatawa”: Jika ada kekokohan (tidak khawatir terjatuh) di dalamnya, maka tidak apa-apa ; karena Utsman radhiyallahu 'anhu membangun masjid dengan batu-batu kapur dan batu-batu berukir.

Al-Baghawi berkata: Siapa pun yang mendekorasi masjid - yaitu: sukarela dengan dana pribadi - tidak dianggap sebagai salah satu kemungkaran yang di besar-besarkan, seperti kemungkaran-kemungkaran lainnya. Karena dia melakukannya untuk mengangungkan syiar-syiar Islam]. (Kutipan SELESAI)

-------

MENURUT MADZHAB HANBALI:

Al-‘Allaamah al-Bahuuti al-Hanbali mengatakan dalam “كشاف القناع” (2/366, Cet. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah):

"(وَيُكْرَهُ) أَنْ يُزَخْرَفَ الْمَسْجِدُ (بِنَقْشٍ وَصَبْغٍ وَكِتَابَةٍ وَغَيْرِ ذَلِكَ مِمَّا يُلْهِى الْمُصَلِّيَ عَنْ صَلَاتِهِ غَالِبًا)" اهـ.

“(Dan dimakruhkan) mesjid didekorasi (dengan ukiran, pewarnaan, tulisan, dan hal-hal lain yang pada umumnya bisa mengganggu konsentrasi orang sholat dari sholatnya)” (Selesai).

Ini juga menunjukkan bahwa jika tidak membuat terlena hati orang sholat, maka tidak makruh.

*****

PENUTUP DAN KESIMPULAN:

Seperti yang telah di sebutkan di atas: ada sebagian para ulama yang sama sekali tidak menganggap makruh mendekorasi masjid dan juga menulis ayat-ayat Al-Qur'an di arah kiblat masjid, seperti yang diriwayatkan sebelumnya dari Al-Abbas bin Abdul-Muttalib radhiyallahu ‘anhu orang pertama yang mendekorasi Masjidil Haram dan dari Utsman Bin Affan radhiyallahu ‘anhu ketika memperbaharui pembangunan Mesjid Nabawi. Kemudian diriwayatkan pula dari Athoo bin Abi Robaah, semoga Allah merahmatinya.

Lalu diatas amalan mereka, banyak umat Islam sesudahnya yang mengamalkannya, diantaranya adalah Umar bin Abdul Aziz, semoga Allah merahmatinya, beliau melakukannya pada Masjid Nabawi yang Mulia.

Menurut mereka yang membolehkan: Dekorasi dan tulisan ayat itu sebenarnya tidak akan menyibukkan hati orang yang shalat sama sekali ; karena dalam Shalat itu ada kesibukan tersendiri diatas segala sesuatu yang lain, yaitu menyibukkan hatinya menghadap Allah SWT, seperti yang diriwayatkan sebelumnya dari Abu Zur'ah dalam perkataanya:

" سُبْحَانَ اللَّهِ! رَجُلٌ يَدْخُلُ عَلَى اللَّهِ تَعَالَى وَيَدْرِي مَا بَيْنَ يَدَيْهِ؟!"

"Subhanallah ! (Bagaimana mungkin) seseorang masuk untuk manghadap Allah Ta’aala, tapi orang itu mengetahui apa yang ada di hadapannya?!"

Dan hukum asalnya pandangan mata orang yang shalat itu tertuju pada tempat sujudnya, sebagaimana yang ditetapkan dalam madzhab Jumhur Ulama.

Jika ayat-ayat Al-Qur’an tertulis di dinding-dinding masjid dengan kokoh dan yakin tidak mudah terjatuh, maka tidak dibenarkan untuk mengingkarinya atau merusaknya, termasuk orang yang berpendapat bahwa itu makruh ; sebab penulisan itu dilakukan untuk mengagungkan syiar-syiar Allah dan merusaknya karena beda pendapat itu hanya akan menimbulkan perpecahan.

Keberadaan dekorasi dan tulisan kaligrafi di masjid-masjid itu telah menjadi kebiasaan dan tradisi orang-orang. Dan biasanya kebiasaan-kebiasaan itu akan mengikat, dan menjadi syi’ar di hati masyarakat umum sebagai bentuk pengagungan dan simbol kesucian.

Dalam hal ini, Imam at-Taqi As-Subki Asy-Syafi'i mengatakan dalam “تنزل السكينة” (hal. 271): 

"وَلْيُتَنَبَّهْ هُنا لِفَائِدَةٍ: وَهِيَ أَنَّ الكَعْبَةَ بَنَاهَا إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ أَفْضَلُ الصَّلَاةِ وَالسَّلَامُ وَلَمْ تَكُن تُكْسَى مِن زَمَانِهِ إِلَى زَمَانِ تُبَّعٍ الْيَمَانِيِّ فَهُوَ أَوَّلُ مَنْ كَسَاهَا عَلَى الصَّحِيحِ، وَقِيلَ : إِنَّ إِسْمَاعِيلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ كَسَاهَا، فِي تِلْكَ الْمُدَدِ لَا نَقُولُ إِنَّ كِسَاوَتَهَا كَانَتْ وَاجِبَةً؛ لِأَنَّهَا لَوْ كَانَتْ وَاجِبَةً لَمَا تَرَكَهَا الأنْبِيَاءُ عَلَيْهِمُ السَّلَامُ، وَلَكِن لَمَّا كَسَاهَا تُبَّعٌ وَكَانَ مِنَ الأَفْعَالِ الْحَسَنَةِ وَاسْتَمَرَّ ذَلِكَ كَانَ شِعَارًا لَهَا وَصَارَ حَقًّا لَهَا وَقُرْبَةً وَاجِبَةً؛ لِئَلَّا يَكُونَ فِي إِزَالَتِهِ تَنْقِيصٌ مِنْ حُرْمَتِهَا، فَيُقَاسُ عَلَيْهِ إِزَالَةُ مَا فِيهَا -وَالْعِيَاذُ بِاللَّهِ- مِن صَفَائِحِ الذَّهَبِ وَالرَّخَامِ وَنَحْوِهِ، وَنَقُولُ: إِنَّهُ تَحْرُمُ إِزَالَتُهُ، وَلَا يَمْتَنِعُ أَنْ يَكُونَ ابْتِدَاءُ الشَّيْءِ غَيْرَ وَاجِبٍ وَاسْتِدَامَتُهُ وَاجِبَةً". اهـ.

“Harus diperhatikan di sini, untuk faidah:

Ka'bah itu dibangun oleh Ibrahim AS, dan itu tidak ditutup dengan kiswah dari semenjak zamannya sampai zaman Tubba’ (تُبَّعٌ) dari Yaman, maka dialah yang pertama mengkiswahinya menurut riwayat yang Shahih. Ada juga yang mengatakan bahwa Ismail ‘alaihis salam yang pertama mengkiswahinya.

Selama masa-masa itu (sebelum dikiswahi), kami tidak mengatakan bahwa mengkiswahinya itu wajib ; karena jika itu wajib, maka para nabi AS tidak akan meninggalkannya. Akan tetapi ketika Tubba’ (تُبَّعٌ) mulai mengkiswahinya, dan itu adalah perbuatan baik, dan itu terus berlanjut dan berkesinambungan, maka kiswah itu menjadi Syi’ar bagi Ka’bah dan itu menjadi hak baginya, sebagai qurbah, dan kewajiban ; agar dengan menghilangkannya itu menjadi pengurangan terhadap kesuciannya. Dari sini maka dianalogikan terhadapnya dengan hukum menghilangkan apa yang ada pada Kabah - والعياذ بالله - seperti piring emas, marmer, dan lain lain. Dan kami berkata: Diharamkan menghilangkannya / mencopotnya.

Bukanlah tidak mungkin jika ada suatu hal pada awalnya itu tidak wajib, namun setelah ada maka menjaga kelestariannya itu adalah wajib “. (KUTIPAN dari al-Subki SELESAI)

Masalah dekorasi dan tulisan ayat-ayat itu adalah salah satu masalah khilafiyah yang tidak bisa dipungkiri, maka terhadap yang melakukannya tidak layak untuk diingkari, dan tidak boleh bagi yang berpendapat haram atau makruh untuk memusnahkannya atau merusaknya dengan alasan Nahyi Munkar jika sudah tertulis dan terpasang dengan kuat dan yakin tidak khawatir mudah jatuh terinjak-injak ; karena jika merusaknya pasti akan menimbulkan permusuhan dan perpecahan antar sesama umat Islam, dan lagi pula dekorasi dan tulisan ayat al-Quran itu dilakukan oleh pembuatnya bertujuan untuk mengagungkan syiar-syiar Islam, dan dalam tindakan memusnahkannya itu merupakan pelanggaran terhadap makna ini ; dimana para ulama ahli fiqih menetapkan qaidah bahwa:

" قَدْ يَجِبُ فِي الدَّوَامِ مَا لَا يَجِبُ فِي الِابْتِدَاءِ ".

“Terkadang ada suatu hal yang wajib dijaga kelestariannya, namun tidak wajib untuk memulainya “.

والله أعلم

 

 

Posting Komentar

0 Komentar